TRIBUNNEWS.COM - Munculnya berbagai kerajaan fiktif akhir-akhir ini mampu menarik pengikut cukup banyak di beberapa daerah di Indonesia.
Menurut pengamat sosial dari Universitas Indonesia Devi Rahmawati, ada beberapa kemungkinan orang mau menjadi pengikut kerajaan fiktif tersebut.
Dilansir TribunWow.com dari tayangan KompasTV, awalnya Devi menjelaskan fenomena kerajaan fiktif tidak hanya muncul di Indonesia.
"Jadi kalau berdasarkan studi di dunia, kepercayaan bagaimana sebuah masyarakat atau komunitas percaya pada hal-hal yang bersifat fiktif, atau tidak nyata kemudian tidak dapat dipertanggungjawabkan, itu bukan hanya milik komunitas timur seperti Indonesia," kata Devi, Sabtu (18/1/2020).
Devi menyebutkan sebesar 65 persen responden percaya pada teori konspirasi, berdasarkan penelitian yang dilakukan di sembilan negara pada 2012 sampai 2018.
Dengan tingkat pendidikan tinggi dan kualitas hidup yang baik, Devi menyebutkan ada alasan warga negara-negara tersebut masih memercayai hal-hal yang tidak masuk akal itu.
"Karena ternyata ada kaitannya dengan ketidakpercayaan pada pemerintah, misalnya," kata Devi.
"Artinya apa? Ada ketidakpuasan. Yang kemudian hal-hal tidak rasional tadi menjadi cara bagi mereka, bagi warga manapun, tidak mengenal ras, tidak mengenal latar belakang pendidikan untuk menemukan jawaban sementara," jelasnya.
Sebagai contoh, Devi menyebutkan dalam kemunculan Kerajaan Sunda Empire ada pernyataan tentang kekecewaan terhadap pemerintah.
"Kalau di kita kerajaan, di Amerika atau Eropa itu apa yang terjadi? Mereka bilang bahwa sebenarnya yang mengatur dunia ini bukan pemerintahan mereka," kata Devi menjelaskan kepercayaan orang terhadap teori konspirasi.