TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tak menutup kemungkinan melakukan studi banding ke Amerika Serikat guna mempelajari Omnibus Law.
AS diketahui merupakan satu di antara negara yang sudah lebih dulu menerapkan Omnibus Law, karena menganut sistem Common Law.
"Saya rasa nanti kita lihat perkembangannya. Kalau memang diperlukan, kami juga melakukan (studi banding, red), tapi kalau tidak diperlukan juga tidak perlu," ujar Anggota Badan Legislasi DPR F-Golkar Firman Soebagyo dalam diskusi bertajuk 'Omnibus Law Bikin Galau?' di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (26/1/2020).
Baca: KSPI Khawatir Upah Per Jam di RUU Omnibus Law Jadi Akal-akalan Pengusaha
Baca: DPR Janji Ajak Serikat Pekerja Bahas Omnibus Law
Baca: Meski Bukan Kewenangan Pemprov, Dinas SDA DKI Siap Bantu Sedot Banjir di Underpass Gandhi
Dikatakan Firman, persoalan Omnibus Law menjadi riuh ketika Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) mencari dasar hukum atas aturan tersebut.
Sebab, Omnibus Law dikenal di negara yang menganut sistem hukum Common Law. Sedangkan Indonesia menganut Civil Law.
Kendati demikian, Firman menjelaskan Omnibus Law di Indonesia tidak sama dengan di negara lain.
"Omnibus Law dikenal di negara yang menganut sistem Common Law, tetapi ini kan bukan seperti yang diatur di negara lain, ini adalah sebuah undang-undang baru, yang kedudukan dan derajatnya sama dengan undang-undang lain," jelasnya.
"Nah perbedaannya adalah UU Omnibus Law ini adalah menganulir pasal-pasal tertentu dalam sebuah UU, dan ini tidak menghapuskan UU lain, jadi hanya menganulir atau merevisi pasal-pasal yang menghambat masalah pertumbuhan, iklim investasi, dan ketenagakerjaan, dan lainnya," imbuh Firman.
Dia meyakini bahwa dasar hukum Omnibus Law telah sesuai dengan UU 12 Tahun 2012 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
"Kami harus paham bahwa dasar hukum daripada Omnibus Law ini adalah UU 12 Tahun 2011. Tata cara penyusunan UU dan kedudukan ini tidak lebih dari UU lain, dan ini bukan merupakan UU induk. Jadi derajatnya sama dengan UU lain, hanya menganulir atau merevisi pasal-pasal tertentu," ujar Firman.
"Dan UU yang kita revisi, atau kita cabut, itu UU induknya tetap berjalan, jadi tidak perlu ada kekhawatiran," katanya.