TRIBUNNEWS.COM - Masa Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) bersama Wakil Presiden Maruf Amin memasuki 100 hari pada hari ini, Kamis (30/1/2020).
Terhitung sejak Kabinet Jokowi-Maruf dilantik pada 23 Oktober 2019.
Banyak rekam jejak kerja pemerintahan dalam Kabinet Indonesia Maju yang menjadi perhatian publik.
Melihat kinerja Pemerintahan Jokowi-Maruf, Ahli Hukum Tata Negara Sekolah Tinggi Hukum Jentera, Bivitri Susanti memberikan penilaian.
Dalam acara Mata Najwa Trans7 yang kemudian diunggah di kanal YouTube Najwa Shihab, Kamis, Bivitri memberikan penilaiannya soal penegakkan hukum selama 100 hari Kabinet Jokowi bekerja.
"Berat ya kalau untuk di kasih nilai, tapi saya kira masih di bawah lima," ujar Bivitri.
Lebih lanjut, Bivitri menjelaskan soal ukuran yang ia pakai dalam memberikan penilaian tersebut.
Ukuran pertama adalah soal pemberantasan korupsi di 100 hari Pemerintahan Jokowi.
"Kita lihat betul apa yang sudah disuarakan dari bulan September mengenai revisi UU KPK."
"Ternyata sudah terbukti termasuk melalui kasus Harun Masiku ini, misalnya bahwa mau melakukan penggeledahan sulit dan lain sebagainya," ungkap Bivitri.
Ukuran kedua menurut Bivitri adalah soal wacana mengenai hukum yang hanya dipenuhi sebagai regulasi.
"Perlu dilihat adalah bagaimana wacana mengenai hukum cuma dipenuhi sebagai hukum sebagai regulasi dan gawatnya lagi regulasi sebagai pelancar investasi," jelasnya.
Padahal, menurut Bivitri, hukum tidak hanya terkait soal itu.
"Hukum juga soal bagaimana orang yang di gusur misalnya di Tamansari tapi tidak ada pertanggungjawabannya."
"Dan di tempat-tempat lain dan lain sebagainya, itu malah tidak tersentuh selama 100 hari ini," paparnya.
Mahfud MD: Tidak Fair
Menanggapi soal penilaian tersebut, Menteri Koordinasi Bidan Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD memberikan tanggapannya.
Mahfud MD menegaskan bahwa contoh yang diberikan Bivitri tidak adil.
"Contohnya tidak fair, misalnya hanya menyebut soal Masiku dan KPK yang sulit menggeledah."
"Anda nggak melihat kasus besar lain yang dibuka hanya karena pemerintah yang bisa membuka," ungkap Mahfud MD.
Mahfud MD lantas memberikan contoh kasus Jiwasraya.
Menurutnya, kasus Jiwasyara adalah contoh tindakan tepat yang dilakukan pemerintah.
"Kasus Jiwasraya itu kalau mau ditutup pemerintah, tutup nggak ada yang tahu, tapi Erick Thohir (Menteri BUMN) diperintahkan buka."
Mahfud MD kemudian menyebut, Bivitri hanya berfokus pada soal KPK yang gagal melakukan penggeledahan di Kantor PDIP.
"Anda nggak tahu itu, bahwa itu pemerintah kenapa hanya terfokus soal nggak bisa menggeledah," ujarnya.
Mahfud MD menjelaskan, bahw KPK didesain sebagai lembaga yang bisa melakukan tugasnya tanpa intervensi dari pihak manapun.
"Kalau dia nggak bisa menggeledah ya salahnya sendiri dong," ucap Mahfud MD.
Tak hanya itu, Mahfud MD juga memberikan contoh soal kinerja Kejaksaan Agung yang memperoleh prestasi di bidang keamanan dan pertahanan.
"Kejaksaan Agung, ada hasil survei ditunjukkan, prestasi di bidang keamanan dan pertahanan itu tertinggi nilainya di atas 79 di dalam sepanjang sejarah," ungkapnya.
"Hukum yang dianggap rendah pun masih di atas 60, nah kalau minta nilai seperti orang sekolah."
"Seperti Bivitri memberi nilai kepada mahasiswa 5 atau 3, tapi kalau saya dosennya ini 8 bisa, tergantung dosen aja kan," kata Mahfud MD.
Bivitri: Tapi Masalahnya Begini
Tak berhenti di situ, Bivintri lantas merespons tanggapan dari Mahfud MD.
Bivitri menegaskan, bahwa ukuran yang dipakai berbeda.
"Tapi masalahnya begini, sebenarnya menarik karena disertasi Prof Mahfud sendiri mengutip soal hukum yang responsif," kata Bivitri.
Bivitri menjelaskan, dalam penyelenggaraan negara, tidak bisa hanya melihat kasus-kasus yang dianggap positif.
Padahal, masih banyak kasus yang lain.
"Satu kasus dalam pemerintahan yang buruk itu juga bisa mencerminkan bagaimana pemerintahan itu tidak dijalankan dengan baik."
"Sebenarnya kan seperti itu yang harus juga dilihat," ucapnya.
"Jadi kita tidak bisa juga misalnya Prof Mahfud punya daftar yang baik 10, saya punya 10 kemudian kita berdebat, tidak seperti," imbuhnya.
Bivitri menambahkan, ada satu kasus pun terkait skandal dalam pemerintahan yang menurutnya menganggu rasa keadilan masyarakat dan prinsip negara hukum.
Maka sebanarnya sudah patut sekali pemerintah itu dikritik.
"Jadi saya kira kita tidak berlomba-lomba mencari berapa baik, berapa yang buruk," terangnya.
Mendengar tanggapan Bivitri, Mahfud MD justru malah menyebut Bivitri salah alamat.
"Salah alamat ini, salah alamat, begini lho, kalau hukum jelek itu, itu bukan pemerintah, itu kan pengadilan," kata Mahfud MD.
Menurutnya, kalau sekarang banyak koruptor yang bebas, itu persoalannya terletak pada Mahkamah Agung.
"Wah sekarang zaman Pak Jokowi nih koruptor banyak bebas, lha yang membebaskan siapa? kan Mahkamah Agung," katanya.
Ia menuturkan, jika Presiden Jokowi sudah tegas dalam melakukan penegakkan hukum.
"Kalau presiden, kita kan sudah tegas, tegakkan hukum tanpa pandang bulu, yang tidak perlu diberi ampun jangan diberi ampun," jelasnya.
"Yang memberikan MA lalu disalahkan pemerintah lagi," tambahnya.
Mahfud lantas memberikan contoh kasus Garuda, Asabri, dan Jiwasraya.
"Itu kan dilakukan oleh Menteri Keuangan dan Menteri BUMN."
"Lalu prestasinya bukan dianggap hukum, dianggap prestasi bidang keuangan, padahal ini penegakkan hukum," ungkapnya.
Mahfud MD menyebut, seharusnya penilaian harus dilakukan secara obyektif.
"Bahwa ada kekurangan sudah pasti, tapi dilihat juga dong prestasi-prestasinya agar bisa imbang dan yang menilai itu publik bukan satu orang Bivitri," pungkasnya.
(Tribunnews.com/Nanda Lusiana Saputri)