TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua DPP PKB Bidang Pertahanan dan Keamanan Yaqut Cholil Qoumas alias Gus Yaqut mempertanyakan soal penggunaan data jumlah eks kombatan ISIS yang mengacu pada data CIA.
”Kenapa pakai data CIA? Kayak kita ini enggak punya lembaga inteligen saja. Kita ini punya BIN, kita punya BAIS. Menko Polhukam ngomong berdasarkan data yang diberikan CIA ada sekian ratus WNI yang jadi kombatan ISIS. Itu kan menurut saya ini kayak menafikan lembaga inteligen yang kita punya,” kata anggota Komisi II DPR RI ini di Jakarta Pusat, Rabu (12/2/2020).
Dia khawatir data yang disampaikan CIA bahwa ada sebanyak 689 WNI tergabung ISIS hanyalah data untuk permainan saja.
”Kita tahu lah, salah satu produsen terorisme kan Amerika. Jangan-jangan data ini data mainan saja? Ya kita nggak tahu karena ini yang ngomong CIA,” tuturnya.
Baca: Kekhawatiran Jokowi Bila WNI Eks ISIS Dipulangkan ke Indonesia
Menurutnya, akan lebih kredibel jika pemerintah menggunakan data hasil penelusuran intelijen sendiri.
”Kalau saya ngomong ada 600-an, jangan-jangan kalau menurut BIN lebih dari itu, bagaimana coba?” katanya.
Gus Yaqut mengatakan, dalam konteks ini pemerintah hanya mencoba ”memadamkan api”, namun tidak pernah mencari sumber apinya dimana sehingga upaya penanganannya selalu terlambat karena tidak ada upaya preventif yang serius.
"Misalnya, pemerintah membatasi ruang gerak sumber ajaran radikal, yakni yang kita tahu adalah Wahabi dan Salafi. Ini tak diatasi. Kita bisa temui di BUMN-BUMN, misalnya, banyak pendakwah masih mengajarkan ajaran Salafi, Wahabi, ini sumber ajaran radikal. Ini tidak dilakukan dengan baik. Semestinya kan cari sebabnya, lalu diatasi,” tuturnya.
Gus Yaqut berharap dalam upaya melakukan deradikalisasi agar melibatkan peran serta masyarakat.
”Jangan menganggap deradikaliasasi dalam frame project. Ini kan ancaman serius, bukan hanya project. Kalau tak melibatkan masyarakat maka kita wajib mencurigai pemerintah pakai frame project,” katanya.
Penjelasan Kepala BIN
Sementara dalam rapat dengan Komisi I DPR kemarin, Kepala BIN Budi Gunawan membenarkan ada pertanyaan soal isu pemulangan WNI eks ISIS.
Budi Gunawan menegaskan langkah pemerintah tidak memulangkan sudah dijelaskan dalam Ratas di Istana Bogor, Selasa (11/2/2020) lalu.
"Pemerintah lebih memilih untuk melindungi keamanan segenap bangsa 267 juta jiwa warga bangsa Indonesia yang harus diprioritaskan, daripada memilih memulangkan yang kurang lebih jumlahnya 600 orang. Tentu ada risiko-risiko yang sudah diperhitungkan," kata Budi Gunawan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (12/2/2020).
Terpisah, Ketua Komisi I DPR RI Meutya Hafid menjelaskan pihaknya dengan BIN membicarakan berbgai aspek dan isu yang sedang ramai sekarang.
"BIN kan tugasnya deteksi dini, baik itu terkait isu-isu yg sekarang mengemuka tentang eks ISIS yang tak akan dipulangkan, virus corona, dan lain-lain," kata Meutya.
Jokowi sebut 689 Teroris Lintas Batas Sebagai ISIS Eks WNI
Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyebut 689 orang yang tergolong dalam Foreign Terorist Fighter (FTF) atau teroris lintas batas sebagai anggota ISIS mantan Warga Negara Indonesia (WNI), bukan WNI Eks ISIS.
Hal itu dikatakan Jokowi saat memaparkan alasan pemerintah tidak memulangkan seluruh FTF itu ke Indonesia.
"Saya kira kemarin sudah disampaikan bahwa pemerintah punya tanggungjawab keamanan terhadap 260 juta penduduk Indonesia, itu yang kita utamakan. Oleh sebab itu pemerintah tidak memiliki rencana untuk memulangkan orang-orang yang ada di sana, ISIS eks WNI," kata Presiden di Istana Negara, Rabu, (12/2/2020).
Baca: Pengamat: Tak Ada Urgensinya Pemerintah Tolak Pemulangan Eks ISIS ke Tanah Air
Terkait nasib kewarganegaraan 689 orang itu apabila tidak dipulangkan ke Indonesia, menurut Presiden merupakan konsekuensi mereka.
"Karena sudah menjadi keputusan mereka, tentu saja segala sesuatu mestinya sudah dihitung dan dikalkulasi oleh yang bersangkutan," katanya.
Presiden meminta kementerian atau lembaga terkait melakukan identifikasi dan verifikasi kepada 689 orang yang sebagian besar berada di Suriah tersebut.
Baca: Mahfud MD Enggan Jelaskan Langkah Antisipasi WNI Eks ISIS Pulang Sendiri, Mengapa?
Proses identifikasi diperlukan agar mereka bisa dicegah dan tangkal masuk ke Indonesia.
"Saya perintahkan agar itu diidentifikasi satu per satu 689 orang yang ada di sana. Nama dan siapa berasal darimana sehingga data itu komplit. Sehingga cegah dan tangkal bisa dilakukan di sini kalau data itu dimasukkan ke imigrasi. Tegas ini saya sampaikan," katanya.
Tak akui status WNI
Menteri Kordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengatakan kombatan ISIS asal Indonesia yang berada di Suriah tidak mengakui diri sebagai Warga Negara Indonesia (WNI).
Mahfud mengatakan pemerintah juga tidak pernah bertemu langsung dengan sebanyak 689 orang kombatan berdasarkan data Centeral Intelligent Aegncy (CIA) tersebut.
Dia mengatakan, para kombatan tersebut menghindar dari pemerintah dan tidak pernah menampakan diri meski pemerintah melalui Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) telah mendatangi Suriah.
"Ya mereka kan tidak mengakui sebagai WNI," kata Mahfud di Kantor Kemenko Polhukam Jakarta Pusat pada Rabu (12/2/2020).
Baca: Mulai Hari ini, Tarif Tol Tangerang Merak Resmi Naik, Lihat Perubahan Tarif Terbaru!
Selain itu ia membantah kabar yang menyebut bahwa kombatan ISIS asal Indonesia tersebut minta dipulangkan.
Menurutnya, selama ini pemerintah Indonesia hanya menerima laporan dari pihak lain antara lain CIA dan Palang Merah Internasional yang menyebut jumlah kombatan asal Indonesia di Suriah.
"Lah iya, mereka kan tidak pernah menampakan diri. Paspornya dibakar. Itu kan hanya laporan. Bahwa ada itu. Lalu ada isu-isu mereka ingin pulang. Siapa, tidak ada. Minta pulang ke siapa, itu laporan kok. Laporan," kata Mahfud MD.
Sebelumnya, Menko Polhukam Mahfud MD mengatakan, pemerintah mengambil keputusan tidak memulangkan 689 eks WNI yang sempat bergabung dengan ISIS.
Keputusan itu disampaikan Mahfud usai menggelar rapat yang di pimpin Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Kompleks Istana Kepresidenan, Bogor, Selasa (11/2/2020).
Baca: Menag Tunjuk Aloma Sarumaha Jadi Plt Dirjen Bimas Katolik
"Pemerintah tidak ada rencana memulangkan terorisme, bahkan tidak akan memulangkan FTF (Foreign Terrorist Fighter/Pejuang Teroris Asing) ke Indonesia," kata Mahfud MD.
Ia menjelaskan, keputusan itu diambil karena pemerintah dan negara wajib memberikan rasa aman dari ancaman terorisme dan virus-virus baru termasuk teroris terhadap 267 juta rakyat Indonesia.
"kalau FTF ini pulang itu bisa menjadi virus baru yang membuat rakyat 267 juta itu merasa tidak aman," tambahnya.
Mahfud juga menyebut, pemerintah akan memastikan data valid jumlah dan identitas orang-orang yang terlibat terorisme, termasuk bergabung dengan ISIS.
"Bersama dengan itu akan di data yang valid tentang jumlah dan identitas orang-orang itu," kata dia. (Tribunnews.com/Reza Deni/Hasanuddin A).