TRIBUNNEWS.COM - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghentikan penyelidikan 36 kasus dugaan korupsi yang dinilai tidak memenuhi syarat untuk ditingkatkan ke tahap penyidikan.
Keputusan KPK itu menuai sejumlah tanggapan dari sejumlah tokoh dan lembaga.
Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD mengatakan, dirinya tak akan setuju atas keputusan tersebut, jika pihaknya diajak koordinasi oleh KPK.
Lalu, anggota Komisi III DPR RI Fraksi PPP, Arsul Sani meminta KPK menjelaskan kepada masyarakat soal penghentian penyelidikan 36 kasus dugaan korupsi tersebut.
Baca: KPK Hentikan 36 Perkara yang Masih dalam Penyelidikan, Firli Bahuri: Bukan Tindak Pidana
Baca: Prediksi ICW Sejak Firli Dilantik akan Stop Banyak Perkara Jadi Nyata, Kinerja KPK Merosot Tajam?
Sementara itu, Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Wana Alamsyah menduga keputusan KPK tersebut, karena melibatkan aktor-aktor penting.
Berikut penjelasan lengkap yang telah Tribunnews.com rangkum, Jumat (21/2/2020) :
Mahfud MD
Menko Polhukam, Mahfud MD mengatakan, KPK tidak mengomunikasikan hal tersebut kepadanya.
"Tidak boleh koordinasi dengan saya, kalau mau koordinasi dengan saya, saya ndak mau," ujar Mahfud di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta Pusat, Jumat (21/2/2020), dikutip dari Kompas.com.
Ia berujar, KPK bukan bawahan dari Kemenko Polhukam, sehingga Mahfud MD menyerahkan keputusan tersebut pada KPK.
"Karena itu (KPK) bukan bawahan saya. Ndak boleh dan itu wewenang dia, jadi tanya ke KPK saja, mungkin ada alasan yang dipertanggungjawabkan," jelasnya.
Mahfud MD menegaskan, dirinya tidak tahu soal kasus apa saja yang dihentikan itu.
"Yang kedua, memang secara struktural dia bukan bawahan Menko Polhukam. Katanya disuruh independen kan? Jadi kita enggak ikut campur," imbuh Mahfud MD.
Komisi III DPR RI
Anggota Komisi III DPR RI Fraksi PPP, Arsul Sani mengatakan, penjelasan dari KPK sangat diperlukan.
Alasannya, agar spekulasi terjadinya impunitas kasus korupsi tidak berkembang di masyarakat.
"Pimpinan KPK perlu menjelaskan kepada publik tentang penghentian penyelidikan 36 kasus agar tidak berkembang spekulasi, KPK melakukan impunisasi kasus korupsi," kata Arsul, dikutip dari Kompas.com, Kamis (20/2/2020).
Baca: Alasan Penghentian Penyelidikan 36 Kasus Korupsi, Ketua KPK: Bisa Disalahgunakan untuk Pemerasan
Baca: KPK Stop Penyelidikan 36 Kasus Lama, ICW Khawatir Adanya Abuse of Power: Kinerja Merosot
Menurutnya, penghentian penyelidikan dalam perkara pidana bukan hal yang aneh, jika bukti tidak cukup untuk melanjutkan kasus ke tahap penyidikan.
"Prinsipnya kan, kalau bukti permulaannya tidak cukup untuk dilanjutkan atau ditingkatkan ke tahap penyidikan, maka ya wajar dihentikan," katanya.
"Hanya untuk menilai wajar tidaknya penghentian, maka informasinya ya perlu dijelaskan," jelas Arsul.
Ia menjelaskan, penghentian penyelidikan bukan sesuatu yang final, tetapi dapat dibuka kembali ketika ditemukan bukti baru yang menguatkan.
"Bisa saja nanti harus dibuka lagi ketika ada bukti baru masuk baik berupa saksi, surat-surat atau petunjuk," jelas Arsul Sani.
ICW
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Wana Alamsyah menduga, kasus-kasus yang dihentikan oleh KPK tersebut, terkait korupsi yang melibatkan kepala daerah, aparat penegak hukum, hingga anggota legislatif.
"Kasus yang dihentikan oleh KPK diduga berkaitan dengan korupsi yang melibatkan aktor penting," ujar Wana, dikutip dari Wartakotalive.com, Jumat (21/2/2020).
"Seperti kepala daerah, aparat penegak hukum, dan anggota legislatif," ungkapnya.
Baca: KPK Hentikan Penyelidikan 36 Perkara Korupsi, Mahfud MD: Menkopolhukam Bukan Atasannya KPK
Baca: ICW Duga 36 Kasus Korupsi yang Disetop KPK Terkait Kepala Daerah, Aparat Hukum dan Anggota DPR
Ia kemudian mengingatkan, pimpinan KPK agar tak melakukan abuse of power atau penyalahgunaan kekuasaan dalam memutuskan penghentian perkara.
Mengingat, Ketua KPK Firli Bahuri merupakan polisi aktif.
ICW khawatir status Firli tersebut menimbulkan konflik kepentingan saat menghentikan kasus tersebut.
Wana lalu mempertanyakan, apakah penyetopan 36 perkara tersebut sudah melalui mekanisme gelar perkara.
"Proses penghentian perkara di ranah penyelidikan mestinya melalui gelar perkara."
"Yang mana melibatkan setiap unsur, mulai dari tim penyelidik, tim penyidik, hingga tim penuntut umum."
"Apabila ke-36 kasus tersebut dihentikan oleh KPK, apakah sudah melalui mekanisme gelar perkara?" tanya Wana.
Baca: Ketua KPK Jelaskan Alasan Pihaknya Hentikan Penyelidikan 36 Perkara Korupsi
Baca: ICW Sudah Prediksi KPK Akan Setop Banyak Perkara Sejak Firli Cs Dilantik
Mengutip Kompas.com, Plt Juru Bicara KPK, Ali Fikri mengatakan, jenis penyelidikan yang dihentikan yaitu terkait dugaan korupsi oleh kepala daerah, BUMN, aparat penegak hukum, kementerian/lembaga, dan DPR atau DPRD.
"KPK mengonfirmasi telah menghentikan 36 perkara di tahap Penyelidikan. Hal ini kami uraikan lebih lanjut sesuai dengan prinsip kepastian hukum, keterbukaan dan akuntabilitas pada publik," kata Ali dalam keterangan tertulis, Kamis (20/2/2020).
Penghentian 36 kasus itu dilakukan secara hati-hati dan penuh pertimbangan.
Menurutnya, 9 kasus sudah ditangani sejak lama yakni sejak 2011, 2013, dan 2015.
"Selama proses penyelidikan dilakukan tidak terpenuhi syarat untuk ditingkatkan ke penyidikan, seperti bukti permulaan yang cukup, bukan tindak pidana korupsi dan alasan lain yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum," jelasnya.
Ali menegaskan, penghentian penyelidikan merupakan hal yang lumrah dilakukan.
Mengingat, sudah ada 162 penyelidikan yang dihentikan dalam lima tahun terakhir sejak 2016.
(Tribunnews.com/Nuryanti/Wartakotalive.com) (Kompas.com/Dian Erika Nugraheny/Haryanti Puspa Sari/Ardito Ramadhan)