Bagi saya ini tantangan tersendiri. Saya merasa cukup punya basis. Punya basis maksudnya saya mantan ketua Fatayat, dengan teman-teman kan bisa bersama-sama. Mereka meyakinkan bahwa representasi NU ada di saya.
Tribun: Apa hikmah dari kalah dalam Pilkada yang Anda bisa petik baik untuk gender atau pendidikan politik?
Sebenarnya kalau kalah itu banyak faktor. Misalnya logistik (dana kampanye). Tapi logistik tidak menjadi satu-satunya.
Kalau ada yang beranggapan bahwa pragmatisme masyarakat itu cukup tinggi dalam even seperti itu, saya melihat bahwa tidak semua masyarakat itu bisa diperlakukan demikian tingkat pragmatisnya tinggi.
Ida adalah kader Nahdlatul Ulama yang mantan Ketua Umum Fatayat NU, dan 20 tahun menjadi anggota DPR.
Saya benar-benar modalnya modal cekak. Bayangkan saya maju Pilkada, besok pengumuman, malam ini saya baru memutuskan. Jam 3 pagi saya memutuskan, siangnya mengumumkan, saya kan waktunya pendek sekali untuk mempersiapkan itu.
Saya merasa masyarakat masih biasa diajak untuk berdialog, mendiskusikan, sepanjang saya berjalan itu saya lebih banyak forum-forum tertutup mendialogkan, mendiskusikan, mengajak mereka kira-kira apa yang bisa kita lakukan ke depan.
Saya lebih banyak itu, forum-forum terbatas. Yang banyak mungkin 1.000. Tapi kalau forum terbatas 50-100 itu menurut saya sangat efektif sekali. Even terbesar kita ada, dibandingkan mengundang massa yang di atas 5 ribu kecil.
Baca: Situs sensus.bps.go.id untuk Akses Sensus Penduduk Online, Simak Panduan Mengisi SPO 2020
Baca: Pemerintah Wacanakan Sertifikasi Bebas Virus Corona, Buat Apa? Ini Penjelasan Maruf Amin
Saya tetap dengan forum yang terbatas, malah saya enak berdialog dan mereka bisa diajak menjadi pemilih yang cerdas.
Saya optimis bahwa pragmatisme masyarakat iya, tapi kalau kita bisa memberikan pencerahan itu saya rasa mereka bisa terdidik.
Tribun: Terkait menteri, pada awal membentuk kabinet kerja ini, Presiden Jokowi mengatakan tidak ada visi dan misi menteri. Hanya ada visi-misi presiden-wakil presiden. Apa yang Ibu implementasikan untuk menjalankan misi Presiden Jokowi?
Benar tidak ada visi dan misi menteri. Yang ada hanyalah menteri menjalankan visi dan misi presiden dan wakil presiden. Begitu juga saya sebagai menteri yang diamanatkan untuk ketenagakerjaan. Maka kami menjalankan visi dan misi Pak Jokowi.
Dalam konteks menjalankan visi dan misi Jokowi, maka kami konsentrasi pada pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas dengan meningkatkan kompetensi dan produktivitas.
Kalau dilihat dari tugas itu, maka profile APBN kita di Kementerian Ketenagakerjaan ini 76 persen diarahkan untuk peningkatan kompetensi dan sumberdaya manusia kita.
Kita punya pekerjaan yang tidak sedikit, angkatan kerja yang bekerja itu didominasi oleh yang pendidikannya SMP ke bawah. 57,5 persen, mereka itu pendidikannya SMP ke bawah.
Bisa dibayangkan dengan profil seperti itu, kompetisi dan produktivitas kita rendah. Bekerja untuk penempatan dalam negeri dan luar negeri, dengan tingkat pendidikan seperti itu mereka berada pada low skill.
Baca: Ketika Menteri dan Humas Kominfo Berbeda Pandangan soal Foto Tara Basro Langgar UU ITE
Baca: Fakta Ibu Nikahi Anak Kandung di Gorontalo, Kini Hamil Tua, Rela Diusir dari Desa, Alasannya Miris
Mereka yang skillnya terbatas. Jadi di dalam negeri maupun di luar negeri, dengan profil seperti itu selama ini pekerja migran Indonesia (PMI), dahulu disebut tenaga kerja Indonesia (TKI), kita didominasi oleh mereka yang low skill semacam domestic workers (pembantu rumah tangga), yang tidak memerlukan skill tertentu.
Sementara, kita punya pekerjaan yang cukup serius juga.
Dari angka 123 juta angkatan kerja, itu ada 7 juta angka pengangguran kita, di antaranya, 40 ribu sampai 50 ribu angka pengangguran kita itu ternyata justru didominasi mereka dengan tingkat pendidikan tinggi.
Jadi yang nganggur itu pendidikannya tinggi, lulusan SMA sampai Perguruan Tinggi, ini terjadi karena tidak adanya link and match antara pendidikan dan dunia kerja.
Yang pendidikannya SMP ke bawah itu mau bekerja apa saja, sementara yang pendidikannya tinggi tentunya ingin bekerja sesuai keahliannya. Sementara kompetensinya tidak diterima di pasar kerja.
Oleh karena itu yang dilakukan Kemennaker itu adalah meningkatkan kompetensi, mereka yang low skill tadi yang kompetensinya rendah, akhirnya kita juga terus membangun skill mereka agar bisa diterima di pasar kerja.
Jadi program yang kita kembangkan akhirnya ada triple Skilling, yaitu melakukan skilling, up-skilling, dan re-skilling.
Mereka yang kompetensinya rendah kita lakukan skilling, memberi keterampilan. Mereka yang sudah SMK tapi tidak kompatibel dengan lapangan kerja, kita lakukan up-skilling, dilatih di balai latihan kerja (BLK).
Sedangan bagi mereka yang kena PHK itu kita berikan reskilling, beri pekerjaan.
Urusan tenaga kerja ini lebih banyak berkaitan dengan pengembangan, penguatan, pembangunan, sumberdaya manusia dan ini harus inherent dengan Kemendikbud.
Prioritas pemerintah adalah pendidikan dan pelatihan vokasi. Pendidikan vokasi dilakukan Kemendikbud, kami melakukan pelatihan vokasi. Pelatihan vokasi itu diarahkan pada mereka yang sudah tidak sekolah.
Untuk itu kita kembangkan melalui BLK yang dikelola pusat maupun pemerintah daerah. Itu sebenarnya, jadi bagaimana mereka yang menganggur itu diberikan pelatihan untuk bisa diterima di lapangan kerja.
Atau mereka yang punya rintisan usaha bisa mengembangkan wirausaha mandiri sehingga dia bisa menciptakan lapangan kerja baru.
Tribun: Berarti Kemennaker kerja sama dengan Kementerian Usaha Kecil, Koperasi dan Menengah juga?
Tentu. Tapi kami juga ada program untuk itu karena kami juga punya tugas dan fungsi untuk melakukan perluasan kesempatan kerja.
Jadi di samping pelatihan kita arahkan untuk bisa diterima di lapangan kerja, kami juga memperluas kesempatan kerja itu melalui kewirausahaan.
Jadi kewirausahaan itu ada program Tenaga Kerja Mandiri (TKM). Kemudian kita fasilitasi mereka untuk mendapatkan teknologi tepat guna.
Ini perluasan kesempatan kerja, mereka yang punya passion di wirausaha, kita arahkan dengan harapan mereka menjadi wirausahawan dan akhirnya bisa memberikan kesempatan kerja bagi yang lainnya.
Jadi diferensiasi kewirausahaan yang kami laksanakan itu, pada peningkatan kompetensi dan produktivitas dan kemudian kami memastikan mereka menjadi seorang wirausahawan baru yang bisa memberi kesempatan kerja bagi yang lainnya. Kami melihatnya dari hulu sampai hilir.
Tribun: Terharap pekerja yang angkanya 57,5 persen adalah low skill, dalam 5 tahun ke depan bagaimana cara anda untuk mengurangi angka ini dan berapa target?
Mau tidak mau, peningkatan kompetensi harus dilakukan secara masif. Program-program yang dilakukan di antaranya adalah melalui program kartu pra kerja.
Kartu pra kerja ini adalah pelatihan vokasi kepada mereka yang menganggur, sudah bekerja tapi butuh up Skilling atau re Skilling untuk mereka yang kena PHK. Ini dilakukan secara masif.
Program ini karena lintas kementerian dan KL, Kemnaker menjadi bagian dari kartu pra kerja, di samping secara regular program pelatihan kompetensi memang tugas Kemnaker.
Tribun: Apa pesan Anda kepada orang-orang yang berpendidikan tinggi, mungkin para sarjana, yang mungkin gengsi dalam mencari pekerjaan?
Saya pikir kalau tidak adanya kompetensi untuk bisa diterima di pasar kerja, jangan ragu untuk membekali diri lagi dengan peningkatan kompetensi melalui BLK atau melalui LPK yang ditunjuk pemerintah. Kami punya sistem informasi ketenagakerjaan.
Sistem inilah kami berharap teman-teman, semua yang berada di usia angkatan kerja, masuk dalam sistem ini sehingga ter profiling dalam sistem ini.
Tinggal masuk dalam sistem ini, dia membutuhkan peningkatan kompetensi apa, di mana pelatihan-pelatihan itu, tinggal masuk dan nanti akan disalurkan melalui sistem yang kita bangun Wajib Lapor Ketenagakerjaan (WLKT).
Perusahaan yang membutuhkan tenaga kerja, bisa disalurkan lewat jalur ini. bisa disambungkan secara sistem. (Tribun Network/Dennis Destryawan)