Laporan Wartawan Tribunnews.com, Vincentius Jyestha
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) resmi menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 61 Tahun 2020 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Lainnya Bagi Ketua dan Anggota Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK).
Dalam Perpres tersebut, Ketua Dewan Pengawas (Dewas) KPK mendapatkan gaji sebesar Rp104.620.500.
Baca: Jokowi Teken Perpres Gaji Dewan Pengawas KPK: Ketua Rp104 Juta, Anggota Rp97 Juta
Sementara anggota Dewas KPK mendapat gaji sebesar Rp97.796.250.
Terkait hal itu, pakar hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fikcar Hadjar menilai ada penghamburan uang negara untuk sesuatu yang tak penting.
KPK juga disebut tak ubahnya menjadi kantor mencari nafkah bagi yang bekerja disana pada saat ini.
"Sinyalemen saya bahwa KPK sekarang adalah kantor mencari nafkah tidak terlalu meleset dengan struktur gaji yang demikian," ujar Abdul, ketika dihubungi Tribunnews.com, Rabu (6/5/2020).
"Di tengah masyarakat banyak kehilangan pejerjaan PHK karena pandemi, ini menjadi sebuah penghambur-hamburan uang negara untuk kepentingan yang tidak penting," imbuhnya.
Abdul mengatakan besaran gaji para anggota dan Ketua Dewas KPK saat ini tidaklah pantas karena tidak sebanding dengan kinerjanya.
Pasalnya, masyarakat justru sedang berada dalam krisis.
"Sebagai orang yang membayar pajak, saya sakit hati uang rakyat digunakan tidak pada proporsi kepentingan rakyat banyak," jelasnya.
Di sisi lain, Abdul menilai para Dewas KPK seperti sudah masuk dalam 'jebakan batman' dengan pemberian gaji sebesar itu.
Menurutnya hal itu adalah penghasutan dan bagian dari upaya melemahkan pemberantasan korupsi.
"Dengan suporting pendapatan atau gaji yang demikian menjadi indikator kemunduran bagi peradaban dalam pemberantasan korupsi. Percaya atau tidak, kemandulan lembaga KPK akan terjadi. Termasuk dengan dewan pengawasnya," tandasnya.