Laporan Wartawan Tribunnews.com, Vincentius Jyestha
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia, Moh Abdi Suhufan meminta pemerintah untuk melakukan evaluasi terhadap aturan dan mekanisme pengiriman awak kapal ikan ke luar negeri.
Pernyataan Abdi merujuk pada indikasi kerja paksa yang dialami dan menyebabkan tiga ABK Indonesia yang bekerja di kapal berbendera China meninggal dunia.
"Ini momentum bagi pemerintah untuk melakukan evaluasi terhadap aturan dan mekanisme rekrutmen, serta pengiriman awak kapal perikanan ke luar negeri yang saat ini masih multi channel. Sehingga menyulitkan pengawasan dan belum memberikan perlindungan maksimal bagi awak kapal perikanan di luar negeri," ujar Abdi, dalam keterangannya, Jumat (8/5/2020).
Seperti diketahui, mekanisme pengiriman awak kapal perikanan ke luar negeri saat ini dilakukan melalui 5 jalur dan aturan.
Antara lain oleh Kementerian Perhubungan, Kementerian Tenaga Kerja, BNP2TIK, pemerintah daerah dan jalur mandiri melalui kerja sama bisnis.
Akibat kondisi ini, Abdi mengatakan upaya pengawasan awak kapal perikanan di luar negeri menjadi sulit dilakukan.
"KBRI akhirnya sulit mendeteksi keberadaan mereka untuk melakukan monitoring dan pengawasan karena aturan tiap-tiap instansi pengirim berbeda," jelasnya.
Baca: Direktur Sevilla Bantah Keinginan Pulangkan Ivan Rakitic dari Barcelona
Di sisi lain, sebenarnya Undang-Undang No 18 tahun 2017 tentang Pelindungan Buruh Migran sudah mengamanahkan hal ini. Namun, aturan turunan dalam bentuk Peraturan Pemerintah belum dikeluarkan oleh pemerintah.
Oleh karenanya, meski ada banyak pintu untuk bekerja di kapal ikan luar negeri, mayoritas awak kapal perikanan berangkat lewat jalur ilegal.
"Ini problem besar selanjutnya sebab pemerintah tidak punya data pasti berapa banyak awak kapal perikanan di negara tempat bekerja. Keberadaan dan aktivitas mereka terungkap jika ada kasus seperti kejadian di Korea Selatan," jelas Abdi.
Sementara itu, Koordinator Program dan Advokasi DFW Indonesia untuk SAFE Seas Project yakni Muhammad Arifuddin menyarankan agar pemerintah Indonesia untuk ikut melakukan edukasi kepada calon awak kapal perikanan yang akan bekerja di luar negeri.
Menurutnya upaya edukasi dan kampanye pencegahan kepada masyarakat luas penting agar tidak terjebak pada praktik kerja paksa dan perdagangan orang.
"Pemberian informasi tentang syarat-syarat dan kondisi bekerja di kapal ikan perlu disosialisasikan kepada calon pekerja agar mereka menyadari tingkat risiko yang akan dihadapi," kata Arifuddin.
Arifuddin mengungkap hasil penelitian dan sejumlah kasus awak kapal perikanan yang dirujuk oleh DFW-Indonesia menemukan beberapa praktik kerja paksa yang dialami oleh mereka.
Praktik tersebut antara lain seperti kondisi kerja yang tidak layak, jam kerja panjang, tipu daya, gaji tidak dibayar dan pemanfaatan kerentanan ekonomi keluarga pekerja.
"Oleh karena itu, kami telah membangun Fisher Centre di Jawa Tengah dan Bitung sebagai pusat layanaan edukasi dan pelaporan awak kapal perikanan," kata Arifuddin.
"Ini untuk membantu upaya pencegahan, dengan pemberian informasi yang dibutuhkan bagi awak kapal ikan yang bekerja baik di dalam maupun luar negeri. Agar mereka dapat terhindar dari praktik kerja paksa dan perdagangan orang," tandasnya.