TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tim Advokasi Novel Baswedan menyebut, ada sembilan kejanggalan dari jalannya persidangan kasus penyiraman air keras terhadap penyidik KPK Novel Baswedan yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Utara.
"Proses persidangan itu masih jauh dari harapan publik untuk bisa menggali fakta-fakta sebenarnya (materiil) dalam kasus ini," kata anggota Tim Advokasi Novel, Kurnia Ramadhana, Minggu (10/5/2020) malam.
Kurnia mengatakan, kejanggalan pertama ialah dakwaan jaksa penuntut umum (JPU) yang menunjukkan bahwa kasus penyiraman air keras terhadap Novel hanya dinilai sebagai penganiayaan biasa dan tak berkaitan dengan pekerjaan Novel sebagai penyidik KPK.
Menurut Tim Advokasi, dakwaan tersebut bertentangan dengan temuan Tim Pencari Fakta bentukan Polri yang menyatakan penyiraman air keras terhadap Novel berkaitan dengan kasus korupsi yang ditangani Novel.
"Pertama, dalam dakwaan JPU tidak terdapat fakta atau informasi siapa yang menyuruh melakukan tindak pidana penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan. Patut diduga jaksa sebagai pengendali penyidikan satu skenario dengan kepolisian mengusut kasus hanya sampai pelaku lapangan," kata Kurnia.
Kedua, Tim Advokasi menilai JPU tidak menjadi representasi negara yang mewakili kepentingan korban melainkan malah membela kepentingan para terdakwa.
Menurut Tim Advokasi, hal ini terlihat dari dakwaan JPU yang menyebut air yang disiramkan ke Novel merupakan air aki, bukan air keras.
Pernyataan itu dinilai sesat karena Novel sudah terbukti disiram air keras yang mengakibatkan Novel kehilangan pengelihatannya.
"Dalam persidangan yang dihadiri Novel, pertanyaan jaksa terlihat tidak memiliki arah yang jelas. Anehnya, meski telah disebut saksi korban nama dan informasi penting mengenai kemungkinan keterlibatan aktor lain, jaksa tidak menggali lebih lanjut," ujar Kurnia.
Ketiga, majelis hakim dinilai pasif dan tidak obyektif dalam kebenaran. Tim Advokasi menilai, hakim tidak menggali rangkaian peristwia secara utuh khususnya untuk membuktikan bahwa penyerangan dilakukan secara sistematis.
Hal ini terlihat dari sidang pemeriksaan Novel.
Saat itu, hakim terbatas menggali fakta dengan pertanyaan-pertanyaan seputar peristiwa penyerangan dan dampaknya.
Namun, hakim tidak menggali informasi terkait nama dan peristiwa yang berkaitan dengan penyerangan yang disebutkan Novel saat bersaksi.
"Jika demikian cara kerja hakim diperkirakan akan menutup peluang untuk membongkar kejahatan sistematis ini," kata Kurnia.