"Kalau modelnya kayak begini terus, sampai kapanpun BPJS akan tekor, karena pada prinsipnya BPJS itu tidak asuransi murni, dia bersifat sosial dan tidak ada dalam UUD kita kewajiban bahwa kesehatan itu ditanggung, biaya rumah sakit ditanggung pemerintah itu tidak ada," kata Sholeh.
"Yang ada pasal 34 ayat 1 UUD 1945, fakir miskin, anak terlantar ditanggung, bukan orang kaya," sambungnya.
Sholeh menyampaikan, gugatan Perpres Nomor 75 Tahun 2019 dikabulkan MA karena terdapat pertimbangan bahwa ada ketidakprofesionalan dalam pengelolaan BPJS.
Selain itu, MA juga menganggap kenaikan BPJS tidak layak bagi rakyat yang saat ini perekonomianny sedang tidak baik.
"Makanya, Perpres 75 yang kemarin itu kita gugat dikabulkan, salah satu pertimbangan dari MA itu adalah adanya ketidakprofesionalan di dalam pengelolaan BPJS, menjadi tekor."
"Yang kedua, MA menganggap situasi sekarang, kondisi ekonomi lagi susah, tidak layak warga itu dibebani dengan biaya kenaikan BPJS," kata Sholeh.
Sementara itu, menurut Sholeh, meskipun kenaikan BPJS baru akan dijalankan pada 1 Juli 2020 mendatang, tidak ada yang bisa menjamin perekonomian rakyat sudah membaik.
"Meskipun tidak berlaku sekarang, baru berlaku nanti 1 Juli, sama saja, siapa yang menjamin Juli itu ekonomi Indonesia bagus?"
"Gak ada yang menjamin, justru dampaknya ini bisa sampai setahun ke depan itu situasi ekonomi masih tidak menentu," ujar Sholeh.
Optimis Gugatan Akan Dimenangkan MA
Sholeh mengaku optimis gugatannya akan dimenangkan oleh MA.
Hal ini lantaran MA sudah pernah mengabulkan gugatan terkait kenaikan iuran BPJS pada Februari 2020 lalu.
"Kami percaya, kami yakin MA nanti akan mengabulkan lagi karena sebelumnya sudah dikabulkan," ujarnya.
Selain itu, Sholeh mengatakan ia memiliki pengalaman serupa saat menggugat peraturan yang dirasa merugikan taksi online.
Setelah gugatan itu dikabulkan, menurutnya, pemerintah membuat peraturan baru yang isinya sama.
Baca: Naikkan Iuran BPJS di Tengah Pandemi Corona, KSP: Negara dalam Keadaan Sulit