Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fransiskus Adhiyuda
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah, DPR dan penyelenggara Pemilu memutuskan tanggal 9 Desember 2020 sebagai hari pencoblosan Pilkada 2020.
Secara otomatis, seluruh tahapan Pilkada mulai dari pendaftaran, undian nomor urut hingga kampanye digelar selama pandemi virus corona atau Covid-19.
Baca: Kasus Covid-19 Muncul Lagi di China: Jumlahnya Ratusan, WHO Beri Peringatan ke Semua Negara
Menaggapi hal tersebut, Pengamat politik sekaligus Direktur Lingkar Madani Indonesia (LIMA) Ray Rangkuti mengatakan, pelaksanaan Pilkada di masa pandemi Covid-19 ini menjadi tidak biasa atau berjalan dalam kondisi tidak normal.
"Dapat disadari akan berjalan lebih rumit dan dengan sendirinya membutuhkan penanganan yang lebih serius," kata Ray Rangkuti kepada Tribunnews, Selasa (16/6/2020).
Ray pun menambahkan, tantangan melaksanakan pilkada serentak tahun ini akan dialami penyelenggara baik secara tekhnis maupun subtansial.
Khususnya terkait dengan tantangan subtansialitasnya yang bakal dihadapi penyelenggara adalah kemungkinan makin maraknya pelanggaran pada prinsip-prinsip pemilu demokratis dan tidak tercapainya tujuan pemilu subtansial.
"Prakteknya akan terlibat dalam soal apakah ada ancaman, intimidasi, bahkan kekerasan dalam pilkada. Bully, fitnah, caci maki masuk dalam kategori ini. Di luar itu adalah praktek manipulasi suara atau data pemilih. Jadi 5 contoh ini merupakan prinsip pemilu demokratis," ucap Ray.
Selain itu, Ray menilai persoalan substansi lainnya yakni kelayakan para calon kepada daerah. Apakah layak secara pengetahuan, moral maupun rekam jejak.
Baca: Kemenpan RB: Covid-19 Memaksa ASN untuk Bertransformasi Sistem Kerja
"Mereka bukanlah calon yang memiliki masalah hukum, misalnya pernah dipidana korupsi atau narkoba. Selain itu menghindari munculnya nepotisme dalam pencalonan. Satu fenomena yang makin mengkristal dalam politik Indonesia, saat ini," kata Ray.
"Inilah tantangan utama dalam pilkada serentak masa Covid-19," jelasnya.