Laporan Wartawan Tribunnews.com, Seno Tri Sulistiyono
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua Umum DPN Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia, Fahri Hamzah ikut menyoroti kemarahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang tidak puas dengan capaian-capaian para pembantunya.
Kemarahan presiden sebelas hari yang lalu itu baru muncul saat ini, justru membuat Fahri miris dan kasihan melihatnya.
"Saya, terus terang baru melihat presiden marah rada serius (karena tidak pegang teks). Meski pun sebenarnya itu, kemarahan yang dipandu dengan teks. Saya kasihan juga melihat presiden bisa frustasi seperti itu," kata Fahri dalam keterangan tertulisnya, Jakarta, Senin (29/6/2020).
Baca: Video Jokowi Marahi Kinerja Menteri Baru Diunggah Setelah 10 Hari, Fahri Hamzah: Apa yang Terjadi?
Namun, yang menjadi pertanyaan Fahri adalah kenapa presiden marah sepuluh hari yang lalu, kemudian baru diunggah di laman resmi akun sosial media Sekretariat Negara, sepuluh hari kemudian.
"Dan nyaris sepuluh hari itu tidak ada bocoran sama sekali? Karena sepertinya itu adalah pidato di ruang tertutup yang diikuti oleh pimpinan lembaga-lembaga negara yang merupakan bukan anak buahnya presiden, karena ada Gubernur BI, juga pimpinan-pimpinan lembaga yang afiliat dengan kerja-kerja eksekutif," paparnya.
Di sisi lain, Fahri yang merupakan mantan wakil ketua DPRperiode 2014-2019 itu mengaku kalau sebenarnya banyak sekali respon tentang cara lembaga Kepresidenan dalam mengelola lembaga negara.
Baca: Soal Kemarahan Jokowi, Pengamat Nilai Penanganan Covid-19 Patut Jadi Parameter Rencana Reshuffle
Pertama-tama, dirinya tidak setuju dengan istilah penggunaan rapat sebenarnya, karena presiden itu tidak memerlukan rapat tetapi lebih berkonsultasi.
"Dia (presiden) nggak perlu rapat, karena rakyat yang memilih dan dia sendiri diruang eksekutif itu, dia yang memimpin. Apalagi dalam sistem presidential, ini bukan sistem parlementer," paparnya.
Dalam sistem parlementer, lanjut Fahri, Perdana Menteri sebagai kepala eksekutif kerap rapat dengan anggota parlemen, karena PM dipilih oleh koalisi parlemen, makanya disebut dengan parlementarisme.
Tapi kalau eksekutif, di presidensialisme yang tidak dipilih oleh parlemen dan dipilih langsung oleh rakyat, tidak perlu rapat karena dia bisa memutuskan sendiri.
"Kalau koordinasi oke lah, tapi pada dasarnya meng-entertain istilah rapat di dalam pemerintahan itu menurut saya tidak terlalu perlu, dan buang-buang waktu," paparnya.
"Sama juga kalau rapatnya dengan anak buah (menteri). Buat apa? Karena menteri itu kan semua dipilih oleh presiden, diajak rapat? Pecat aja kalau nggak ok," sambung Fahri.
Fahri mengaku, agak miris melihat presiden sampai menyampaikan semacam kemarahan. Namun, Fahri menganggap itu bukan kemarahan, tetapi semacam frustasi sebenarnya.
"Padahal, saya sudah sering mengomentari cara seharusnya presiden mengelola lembaga kepresidenan. Tidak boleh presiden itu kelihatan emosi, kelihatan marah, kecewa atau kelihatan putus asa," ujarnya.
Komentar PKS
Ketua Fraksi PKS Jazuli Juwaini bisa memaklumi Presiden Joko Widodo (Jokowi) marah kepada menteri-menterinya karena lambatnya pelaksanaan program penanganan Covid-19.
"Kami bisa maklumi, karena Fraksi PKS sebagai oposisi di parlemen merasakan hal yang sama. Dan hal itu sudah kami suarakan sebagai bentuk peringatan dini atau early warning jauh-jauh hari. Karena itu juga yang dirasakan oleh rakyat," ujar Jazuli Juwaini ketika dihubungi Tribunnews.com, Senin (29/6/2020).
Baca: Tepis Kabar Merapat ke Pemerintah, PKS : Kami Ambil Posisi Oposisi
PKS misalnya, lanjut Jazuli, sejak awal mengkritisi lambatnya penetapan status kedaruratan covid-19, lambatnya distribusi APD, kesiapan alat tes, tidak sinkronnya komunikasi dan manajemen bencana, tidak reliablenya data, tidak tepat sasaran bansos, kartu prakerja, kecilnya stimulus UMKM, dan lain-lain.
Bahkan kata dia, Fraksi PKS secara khusus minta dengan tegas agar iuran BPJS tidak naik, sebaliknya harga BBM turun sebagai bentuk keberpihakan sensitivitas Pemerintah kepada rakyat.
Baca: PKS Sebut Sudah Ingatkan Jokowi Kinerja Menterinya Lambat dalam Penanganan Covid-19
Meski demikian, Jazuli mengatakan Fraksi PKS tidak mau mencampuri urusan manajemen kabinet di mana Presiden sebagai leadernya.
Dia tegaskan, posisi PKS menyuarakan perasaan dan aspirasi rakyat yang kesulitan di masa pandemi dan kebingungan dengan kebijakan Pemerintah yang kadang tidak sinkron.
"Rakyat hanya ingin tahu Pemerintah bekerja cepat dan tanggap dalam menangani Covid. Rakyat juga mau Pemerintah hadir seutuhnya dalam membantu beban ekonomi rakyat yang terdampak secar ekonomi terutama rakyat kecil dan sektor UMKM," ucapnya.
Dia berharap, kemarahan presiden bisa direspon cepat oleh para pembantunya dan ditunjukkan dengan kinerja yang dirasakan langsung oleh rakyat.
Baca: Ancam Reshuffle, PKS: Segera Ambil Keputusan, Presiden tak Boleh Mengeluh Apalagi Curhat
"Jadi tidak boleh berhenti hanya marah-marah, rakyat tidak perlu tahu hal itu karena yang penting bagi rakyat pembuktiannya di lapangan," tegas Jazuli.
Lebih jauh Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera menambahkan, Presiden Jokowi juga harus segera merealisasikan ultimatum me-reshuffle Menteri Kabinet yang tidak menggunakan langkah-langkah extraodinary dalam rangka percepatan penanganan wabah Corona COVID-19.
"Pemimpin justru jelas dan tegas di masa krisis. Kesalahan kecil bisa fatal saat kondisi genting. Langkah yang baik untuk Pak Jokowi tegas dan jelas pernyataannya. Tapi, jangan berhenti dalam pernyataan," ujar Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera, ketika dihubungi Tribunnews.com, Senin (29/6/2020).
Menurut Mardani Ali Sera, sepekan paling lambat mesti ada tindak lanjut aksi dan keputusan tegas daru Jokowi atas pernyataannya tersebut.
"Jika tidak ada aksi, maka Pak Jokowi justru yang disebut tidak ounya sense of crisis," jelas anggota Komisi II DPR RI ini.
Dia juga mengingatkan presiden Jokowi, kondisi rakyat kian berat di tengah pandemi Covid-19.
Di saat-saat demikian, kata dia, Pemerintahlah harapan masyakat.
Karena itu, Jokowi harus tegas dalam mendorong para menteri untuk bekerja dan mengeksekusi program yang dapat membantu meringankan beban hidup masyarakat.
Jika tidak juga terlihat eksekusi langsung terhadap program-program untuk rakyat, maka dia menilai, Jokowi tak perlu lagi ragu untuk mencopot bawahannya.
"Karena itu Pak Presiden mesti berani ambil keputusan tegas. Pak Presiden amanahnya dari rakyat. Jangan takut buat keputusan. Presiden tidak boleh mengeluh apalagi curhat. Ambil keputusan. Rakyat taruhannya," ucapnya.
"Kita dukung Pak Jokowi buat keputusan tegas," ujarnya.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyinggung soal reshuffle saat rapat kabinet paripurna di hadapan para menteri Kabinet Indonesia Maju pada 18 Juni 2020, lalu.
Dalam kesempatan itu, Jokowi mengutarakan rasa kecewanya terhadap kinerja para menteri yang dinilai tidak memiliki progres kerja yang signifikan.
"Bisa saja, membubarkan lembaga. Bisa saja reshuffle. Sudah kepikiran ke mana-mana saya. Entah buat Perppu yang lebih penting lagi. Kalau memang diperlukan. Karena memang suasana ini harus ada, suasana ini tidak, bapak ibu tidak merasakan itu sudah," kata Jokowi lewat video yang diunggah melalui kanal Youtube Sekretariat Presiden, Minggu (28/6/2020).
Lebih lanjut, Presiden mengajak para menteri ikut merasakan pengorbanan yang sama terkait krisis kesehatan dan ekonomi yang menimpa Indonesia saat di tengah pandemi Covid-19.
Jokowi menilai, hingga saat ini diperlukan kerja-kerja cepat dalam menyelesaikan masalah yang ada.
Terlebih, Organisasi Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) menyampaikan, bahwa 1-2 hari lalu growth pertumbuhan ekonomi dunia terkontraksi 6, bisa sampai ke 7,6 persen. 6-7,6 persen minusnya. Lalu, Bank Dunia menyampaikan bisa minus 5 persen.
"Kita harus ngerti ini. Jangan biasa-biasa saja, jangan linear, jangan menganggap ini normal. Bahaya sekali kita. Saya lihat masih banyak kita yang menganggap ini normal," ucap Jokowi.(*)