Refly pun tak yakin, di kementerian yang punya wakil menteri itu justru lancar-lancar saja kinerjanya.
Bisa jadi, lanjut dia, justru karena kebanyakan wakil menteri malah merecoki, karena ada dua nahkoda.
Refly juga menyoroti sumber rekruitmen Jokowi dalam pemilihan menteri yang berdasarkan pada dua pertimbangan.
Pertama adalah orang yang dipilih langsung oleh Jokowi.
Kedua adalah orang yang direkomendasikan atau diikat oleh partai politik.
Sementara, dalam pemilihan presiden 2019, ada enam partai yang mendukung Jokowi, yakni PDIP, Golkar, Nasdem, PKB, PPP dan Hanura.
Dari semua partai pendukung itu, masing-masing mendapatkan jatah kursi menteri, kecuali Hanura.
Refly mengingatkan, politik akomodasi Jokowi tidak hanya mengakomodasi partai-partai politik, tapi juga mengakomodasi tim relawan.
"Ada juga wakil-wakil menteri untuk partai politik pendukung lainnya di luar enam pendukung utama itu."
"Termasuk juga staf-staf khusus, jadi sebanarnya banyak sekali pembantu-pembantu presiden Jokowi dalam peridoe kedua jabatannya," ujar Refly.
Meski memiliki banyak pembantu, namun menurut Refly, kinerja yang dianggap tidak efektif itu disebabkan karena Jokowi tidak menerapkan sistem presidensial.
"Tapi kok kinerjanya merasa tidak efektif? Ya karena satu hal, presiden Jokowi tidak mempraktikkan sistem presidensial," terang Refly Harun.
Lebih lanjut, Refly menjelaskan, kelebihan dari sistem presidensial adalah memberikan keleluasaan kepada presiden untuk mencari pembantu-pembantunya.
"Tapi terlihat pada periode kedua ini presiden Jokowi kok malah tambah didekte oleh partai-partai pendukungnya, padahal di periode pertama jauh lebih baik," ungkap Refly.