TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) menduga kuasa hukum terdakwa kasus dugaan korupsi Jiwasraya Joko Hartono yakni Kresna Hutauruk tidak memahami karakteristik produk JS Saving Plan.
Kuasa hukum terdakwa beranggapan bahwa seharusnya manajemen baru PT Asuransi Jiwasraya (Persero) bisa menutup klaim jatuh tempo senilai Rp 802 miliar.
Sebab, masih memiliki aset investasi berupa obligasi sebesar Rp 4,6 triliun dan deposito sebesar Rp 750 miliar per Oktober 2018.
"Dia lupa kalau angka Rp 802 miliar itu klaim jatuh tempo pada saat diumumkan. Dia juga kayaknya tidak tahu atau tidak paham kalau klaim jatuh tempo Jiwasraya Saving Plan itu berjalan tiap hari hingga kalau perkiraan saya klaim itu sampai di angka Rp 50 triliun," ujar Koordinator MAKI Boyamin Saiman kepada wartawan di Jakarta, Rabu (15/7/2020).
Baca: Penghentian JS Saving Plan Disinyalir Jadi Penyebab Kasus Gagal Bayar Jiwasraya
Karena itu, dia mempertanyakan kalau jumlahnya sudah mencapai angka Rp 50 triliun, lalu mau dibayarnya memakai apa.
"Ini lucu-lucuan terdakwa saja, saya pikir" kata Boyamin.
Sementara itu, manajemen Jiwasraya sebelumnya menyurati sejumlah bank yang menjadi agen penjual produk JS Saving Plan pada 11 Oktober 2018 silam.
Asuransi pelat merah tersebut mengumumkan bahwa tidak mampu membayar klaim jatuh tempo senilai Rp 802 miliar.
Saat itu, manajemen Jiwasraya tengah mengalami masalah dalam hal permodalan, sehingga tidak mampu membayar klaim jatuh tempo produk Saving Plan.
Hingga akhir 2018, utang klaim jatuh tempo Jiwasraya mencapai Rp 4,7 triliun dengan aset-aset investasi yang tidak bisa dicairkan dalam waktu yang singkat alias tidak likuid.
Mengacu data ini, Boyamin menilai sebuah keputusan yang tepat jika saat itu manajemen baru mengumumkan adanya gagal bayar.
"Katakanlah Rp 802 miliar itu dibayar dengan sisa uang yang ada pada oktober 2018, tapi apakah bulan September, Oktober, November kemudian tidak gagal bayar juga? Suruh jualan lagi? Sudah tidak laku Jiwasraya, apalagi saat itu penjualan saving plan diminta distop OJK," pungkasnya.
Adapun kondisi perusahaan memang sudah mulai menunjukkan adanya masalah dari laporan keuangan Jiwasraya pada 2017.
Terlihat melalui laba bersih anjlok 98,46 persen dari Rp 2,14 triliun pada 2016 menjadi hanya RP 328,43 miliar pada akhir 2017.
Waktu itu, jumlah beban naik 27,88 persen dari Rp 19,33 triiliun menjadi Rp 24,72 triliun.
Satu diantara penyebab kenaikan jumlah beban karena pembayaran klaim dan manfaat naik lebih dari dua kali lipat dari Rp 6,86 triliun menjadi Rp 15,67 triliun.