Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Lokataru Foundation dan Indonesia Corruption Watch (ICW) mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntaskan adanya dugaan tindak pidana pencucian uang yang dilakukan oleh mantan Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi.
Desakan itu telah diberikan melalui surat ke KPK pada Selasa (21/7/2020) kemarin.
Pendiri Lokataru Haris Azhar menjelaskan, desakannya itu didukung oleh penelusuran yang menunjukkan bahwa Nurhadi diduga memiliki kekayaan yang tidak wajar atau tidak berbanding lurus dengan penghasilan resminya.
"Patut diduga harta kekayaan tersebut diperoleh dari hasil tindak kejahatan korupsi," kata Haris melalui keterangan resminya, Rabu (22/7/2020).
Baca: Usut Kasus Nurhadi, KPK Periksa Sekretaris Pengadilan Tinggi Agama Medan
Hasil penelusuran itu membuktikan bahwa Nurhadi diduga memiliki sejumlah aset, di antaranya tujuh aset tanah dan bangunan senilai ratusan miliar rupiah, empat lahan usaha kelapa sawit, delapan badan hukum, baik dalam bentuk PT maupun UD.
Selain itu, Nurhadi juga disebut memiliki 12 mobil mewah dan 12 jam tangan mewah.
Atas dasar itu, Haris menilai KPK semestinya tidak hanya berhenti pada dugaan tindak pidana suap dan gratifikasi saja, namun juga membuka kemungkinan untuk menjerat Nurhadi dengan pidana pencucian uang.
KPK juga diharapkan dapat menyelidiki potensi pihak terdekat Nurhadi yang menerima manfaat atas kejahatan yang dilakukannya.
Baca: KPK Dalami Aset Tanah Nurhadi dan Menantunya di Padang Lawas Sumut
"Instrumen hukum yang dapat digunakan oleh KPK adalah Pasal 5 UU TPPU, pelaku pasif, dengan ancaman pidana penjara lima tahun dan denda sebesar Rp1 miliar," bebernya.
Ia pun menjelaskan sedikitnya ada tiga keuntungan bagi KPK ketika menindak pelaku kejahatan dengan aturan pencucian uang.
Pertama, penyelidikan dan penyidikan tidak akan diwarnai dengan resistensi dan intervensi pihak tertentu karena menggunakan metode follow the money.
Kedua, sejalan dengan konsep pemidanaan yang berorientasi pada pemberian efek jera bagi pelaku kejahatan korupsi.
Baca: Usut Kasus Suap dan Gratifikasi Nurhadi, KPK Periksa 4 Saksi
"Hal ini mengingat korupsi sebagai financial crime tentu pola pemidanaan tidak bisa hanya bergantung pada hukuman badan semata, namun mesti mengarah pada pemiskinan pelaku kejahatan," jelas eks Koordinator KontraS itu.
Ketiga, memudahkan proses unjuk bukti bagi Jaksa Penuntut Umum. Sebab menurutnya, Pasal 77 UU TPPU mengakomodir model pembalikan beban pembuktian.
"Sehingga Jaksa tidak sepenuhnya dibebani kewajiban pembuktian, melainkan berpindah pada terdakwa itu sendiri," tukasnya.