Laporan Wartawan Tribunnews.com, Glery Lazuardi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menolak permohonan peninjauan kembali (PK) yang diajukan buronan kasus korupsi pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali, Djoko Tjandra.
Pernyataan itu disampaikan Kepala Humas Pengadilan Negeri akarta Selatan, Suharno.
"Permohonan PK dinyatakan tidak dapat diterima. Berkas perkara tidak dilanjutkan ke Mahkamah Agung. (Kami,-red) tidak melanjutkan ke Mahkamah Agung," kata Suharno, saat dihubungi, Rabu (29/7/2020).
Baca: ICW Kritik BIN Soal Kasus Djoko Tjandra, Pengamat: Salah Alamat
Baca: Kejagung Periksa Oknum Jaksa yang Viral Karena Berfoto Bareng Djoko Tjandra
Dia menjelaskan para pihak berperkara sudah mengetahui ketetapan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang ditetapkan pada 28 Juli 2020 tersebut.
Dia mengimbau seluruh pihak yang berencana mengajukan upaya hukum PK supaya memenuhi syarat materil dan formil.
"Penetapan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tanggal 28 Juli 2020," katanya.
Djoko Tjandra Dinilai Menghina Pengadilan
Permintaan terpidana dan buronan perkara pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali, Djoko Tjandra, supaya persidangan permohonan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukannya digelar secara virtual dinilai sebagai bentuk penghinaan terhadap pengadilan.
Hal ini lantaran status Djoko Tjandra merupakan buronan yang dicari pemerintah dan aparat penegak hukum di Indonesia sejak 11 tahun silam.
Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman, menyatakan selama masa pandemi corona atau Covid-19 sebagian besar sidang perkara pidana memang digelar secara daring.
Baca: Komisi III DPR Tak Diizinkan Gelar RDP Soal Kasus Djoko Tjandra, Ini Kata Pakar Hukum Tata Negara
Namun, kata Boyamin, sidang secara virtual hanya berlaku bagi terdakwa yang berada di Indonesia, bukan buronan seperti Djoko Tjandra.
Untuk itu, Boyamin menyatakan sudah semestinya Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menolak permintaan Djoko Tjandra agar sidang permohonan PK yang diajukannya digelar secara daring.
"Sidang daring perkara pidana yang selama ini sudah berlangsung adalah terhadap Terdakwa yang berada di Indonesia baik ditahan atau atau tidak ditahan serta bukan buron. Jadi permintaan sidang daring oleh Djoko Tjandra jelas-jelas bentuk penghinaan terhadap pengadilan sehingga sudah semestinya ditolak oleh hakim," kata Boyamin lewat keterangan tertulis, Senin (20/7/2020).
Baca: Kasus Djoko Tjandra: Disebut Nyaman di Malaysia, Langkah Polri hingga Jaksa Agung Tak Takut
Diketahui, Djoko Tjandra kembali mangkir atau tidak hadir dalam persidangan permohonan PK yang diajukannya di Pengadilan Negeri jakarta Selatan, Senin (20/7/2020).
Dengan demikian, Djoko Tjandra telah tiga kali tidak hadir dalam persidangan.
Seperti dua persidangan sebelumnya pada 29 Juni 2020 dan 6 Juli 2020, Djoko Tjandra mengaku tidak hadir dalam persidangan hari ini lantaran sedang sakit di Kuala Lumpur, Malaysia.
Padahal, dalam persidangan sebelumnya, Majelis Hakim telah mengultimatum kuasa hukum untuk menghadirkan Djoko Tjandra di persidangan.
Baca: Sesalkan Keterlibatan Polisi Dalam Kasus Djoko Tjandra, Ahmad Sahroni: Cari Sampai Tertangkap
Alih-alih mematuhi ultimatum hakim, melalui surat yang ditandatanganinya di Kuala Lumpur, Malaysia tertanggal 17 Juli 2020, Djoko Tjandra justru meminta Majelis Hakim menggelar sidang pemeriksaan atas PK yang diajukannya secara daring.
Boyamin menegaskan, Djoko Tjandra sudah sepatutnya sadar diri dengan statusnya sebagai buronan dengan tidak mendikte pengadilan.
Di sisi lain, Boyamin meminta Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tidak meneruskan persidangan karena Djoko Tjandra telah secara nyata tidak menghormati proses persidangan.
Apalagi, mengingat tindakannya selama ini yang kerap mengangkangi hukum di Indonesia.
"Djoko Tjandra dengan ulahnya selama ini telah mencederai rasa keadilan rakyat sehingga tidak boleh mendapat dispensasi berupa sidang daring," katanya.
Baca: Buron Djoko Tjandra Kirim Surat dari Malaysia, Ini Bunyinya
Dalam kesempatan ini, Boyamin menduga Djoko Tjandra tidak benar-benar sakit seperti yang diklaim kuasa hukumnya.
Dugaan ini menguat lantaran dalam tiga kali persidangan yang telah digelar, kuasa hukum hanya menyampaikan surat keterangan sakit tanpa ada keterangan secara pasti penyakit yang diderita Djoko Tjandra.
"Di sisi lain diduga sakitnya Joker hanyalah pura-pura karena senyatanya dia tidak opname di rumah sakit dan hanya surat keterangan sakit," katanya.
Untuk itu, Boyamin meminta PN Jaksel tidak lagi memberi kesempatan kepada Djoko Tjandra untuk mengulur-ulur waktu dengan klaim sakit.
Boyamin juga meminta Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tidak meneruskan persidangan dan berkas perkaranya tidak perlu dikirim ke Mahkamah Agung (MA).
"Pengadilan tidak boleh lagi memberi kesempatan untuk mengulur waktu karena senyatanya Pengadilan telah berbaik hati dengan memberikan kesempatan sidang sebanyak tiga kali. Untuk itu stop sampai sini dan berkas perkara langsung dimasukkan arsip dan tidak dikirim ke MA," tegas Boyamin.