TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Amnesty International Indonesia menilai Presiden Republik Indonesia Joko Widodo bisa dengan mudah memberikan amnesti kepada tahanan hati nurani Papua dan Maluku dalam rangka HUT Ke-75 RI tahun ini.
Menurut Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid hal itu dikarenakan banyak presiden sejak era Presiden Soekarno sampai Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono di masa pemerintahannya telah memberikan amnesti kepada sejumlah terpidana dalam kasus serupa.
Berdasarkan catatannya, Usman mengatakan, pada tahun 1959 Presiden Soekarno membebaskan orang-orang yang terlibat pemberontakan Daud Bereueh di Aceh melalui amnesti yang tertuang pada Keppres No. 180 tahun 1959 tentang Pemberian Amnesti dan Abolisi.
Di tahun yang sama, kata Usman, Presiden Soekarno juga memberikan amnesti dan abolisi bagi mereka yang terlibat pemberontakan DI/TII Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan melalui Keppres No. 303 Tahun 1959.
Kemudian pada tahun 1977, kata Usman, Presiden Soeharto memberi amnesti dan abolisi bagi anggota Fretilin Timor Timur agar mereka bisa terlibat dalam pembangunan melalui Keppres No. 63 tahun 1977.
Lalu ada tahun 1998, kata Usman, Presiden Habibie memberikan amnesti melalui Keppres No. 80 tahun1998 kepada Sri Bintang Pamungkas dan Muchtar Pakpahan, hingga Hendrikus Kowip, Kasiwirus Iwop, dan Benediktus Kuawamba yang masing-masing terkait isu separatisme di Timor Timur, Aceh dan Papua.
Baca: Pemerintah Targetkan Beri Remisi HUT Ke-75 RI Kepada 142.545 Warga Binaan
Usman melanjutkan pada tahun 1999 Presiden Abdurrahman Wahid juga memberikan amnesti bagi setidaknya 95 tahanan politik Timor Timur dan mereka yang dihukum untuk Tragedi 1965 melalui Keppres No. 157 hingga 160 Tahun 1999.
Lalu pada tahun 2005, kata Usman, Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono juga memberikan amnesti dan abolisi kepada mereka yang terlibat Gerakan Aceh Merdeka (Keppres No. 22 tahun 2005).
Terakhir, pada tahun 2019, Presiden Joko Widodo juga memberikan amnesti, meskipun bukan untuk perkara makar, yaitu kepada Baiq Nuril dengan sebuah pertimbangan kemanusiaan. Untuk perkara makar, pada tahun 2015 Presiden Joko Widodo pernah memberikan grasi kepada lima tahanan politik Papua.
“Merujuk pada catatan sejarah tersebut, seharusnya tidak sulit bagi Presiden Joko Widodo untuk memberikan amnesti pada para tahanan nurani, mengingat bahwa mereka jelas-jelas tidak melakukan tindak kriminal,” kata Usman dalam diskusi publik bertajuk Refleksi 75 Tahun Kemerdekaan: Akankah Tahanan Nurani Mendapat Amnesti? yang digelar Amnesty International Indonesia pada Kamis (13/8/2020).
Amnesty mencatat, hingga saat ini, setidaknya terdapat 46 tahanan hati nurani Papua dan Maluku.
Mereka di antaranya 10 orang dipenjara di Ambon, 23 orang di Fak-Fak, 11 orang di Sorong, dan dua orang dipenjara di Wamena termasuk Jakub Skrzypski yang berkewarganegaraan Polandia.
Sebagian besar tahanan hati nurani tersebut divonis dengan hukuman kurungan atas tuduhan makar berdasarkan Pasal 106 dan Pasal 110 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Usman menjelaskan pada umumnya tahanan hati nurani dikenal dengan sebutan tahanan politik.
"Kami mendefinisikan apa yang disebut tahanan nurani yang seluruhnya harus bersifat ekspresi-ekspresi yang damai. Dengan kata lain 'tahanan-tahanan politik' yang masuk dalam daftar tahanan nurani Amnesty adalah orang-orang yang mengekspresikan tuntutan kemerdekaan misalnya atau pasal makar misalnya itu dalam batas-batas ekspresi yang damai. Dengan kata lain tidak membawa kekerasan, hasutan kebencian, atau provokasi yang membawa kebencian agama ras dan sebagainya," jelas Usman.
Menurut Amnesty International aparat penegak hukum kerap menerapkan pasal-pasal makar tersebut di luar ketentuan yang diizinkan oleh hukum hak asasi manusia internasional, khususnya Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia melalui UU No. 12 tahun 2005.
Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) secara tegas telah menjamin kebebasan berpendapat dan berekspresi, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 19 ICCPR, serta dijelaskan dalam Komentar Umum No. 34 terhadap Pasal 19 ICCPR. Instrumen ini mengikat seluruh negara yang meratifikasi, tanpa terkecuali Indonesia. Merujuk Kovenan tersebut, ekspresi politik juga merupakan bagian dari kebebasan berekspresi dan berpendapat yang keberadaannya dijamin oleh instrumen HAM internasional.
Baca: Kurangi Jumlah Warga Binaan, Jokowi Disarankan Beri Amnesti dan Grasi
Amnesty International Indonesia juga menyatakan tidak mengambil sikap apapun terkait status politik dari provinsi manapun di Indonesia.
Meski demikian, Amnesty International Indonesia memegang teguh prinsip kebebasan berekspresi, termasuk hak untuk menyuarakan kemerdekaan atau gagasan politik apapun yang dilakukan secara damai yang tidak mengandung kebencian, diskriminasi serta kekerasan.
Amnesty International Indonesia, bersama dengan Forum Risalah Jakarta dan sejumlah tokoh nasional juga telah meminta Presiden Republik Indonesia Joko Widodo untuk membebaskan seluruh tahanan hati nurani Papua dan Maluku, termasuk Jakub Skrzypski.
Desakan tersebut juga disampaikan melalui surat terbuka yang dikirimkan langsung kepada Presiden Joko Widodo pada Kamis 13 Agustus 2020.
Surat tersebut disusun oleh Amnesty bersama dengan Forum Risalah Jakarta, sebuah forum dialog lintas elemen masyarakat yang difasilitasi oleh Kementerian Agama, yang terdiri dari agamawan, budayawan, akademisi, aktivis, dan penggiat seni lintas generasi serta tokoh lintas iman.