TRIBUNNEWS.COM - Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad turut menanggapi persoalan 'gaya hidup mewah' Ketua KPK Firli Bahuri.
Samad menilai, sidang etik yang dilaksanakan oleh Dewan Pengawas KPK harus dilaksanakan secara terbuka.
Hal itu diperlukan untuk menghindari adanya prasangka buruk dari publik atas proses sidang yang dilangsungkan.
"Saya mendesak seyogyanya sidang dibuat terbuka agar publik bisa melihat dan memberikan pendapat."
"Jangan ditutup yang hanya akan memunculkan prasangka negatif terhadap hasil pemeriksaan nanti," kata Samad dikutip dari Kompas.com, Rabu (26/8/2020).
Baca: Tak Bisa Tangkap Harun Masiku, ICW Sebut KPK di Era Firli Bahuri Alami Kemunduran
Samad menuturkan, pimpinan KPK yang menjalani sidang etik bukan kali ini saja terjadi.
Saat masih menjabat sebagai pimpinan KPK, Samad juga pernah menjalani sidang serupa.
Kala itu, ia mengikuti sidang bersama dengan mantan Wakil Ketua KPK Adnan Pandu Praja dan digelar secara terbuka.
"Seperti waktu sidang etik terhadap kami dalam kasus bocornya sprindik Anas Urbaningrum beberapa tahun lalu."
"Saat itu, saya dan Pak Adnan Pandu disidang terbuka oleh Majelis Etik yang ditonton media," ungkapnya.
Baca: Sidang Etik Belum Usai, Dewas KPK Panggil Lagi Firli Bahuri Pekan Depan
Menurutnya, sidang etik oleh Dewan Pengawas KPK terhadap pimpinan KPK yang diselenggarakan secara tertutup, dapat berpengaruh terhadap akuntabilitas pemeriksaan.
Sehingga hanya akan membuat publik semakin curiga.
Ia pun melihat keanehan saat sidang etik Firli Bahuri yang digelar tertutup.
Sebab, beberapa anggota Dewan Pengawas KPK merupakan mantan hakim yang terbiasa sidang terbuka.
"Apalagi beberapa anggota dewas berasal dari mantan hakim yang terbiasa dengan sidang terbuka. Ini aneh," kata Samad.
ICW juga meminta sidang digelar terbuka
Sementara, hal yang sama juga diungkap oleh Indonesia Corruption Watch (ICW).
Peneliti ICW Kurnia Ramadhana, memberi tiga catatan terkait sidang dugaan pelanggaran etik Ketua KPK Firli Bahuri.
Satu di antaranya, pihak ICW meminta agar proses sidang etik digelar transparan.
"Pertama, proses pemeriksaan harus menjunjung tinggi transparansi serta akuntabilitas kepada masyarakat," kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana, dikutip dari Kompas.com.
Baca: Buntut Gaya Hidup Mewah Firli Bahuri: ICW Minta Diproses Transparan, MAKI Ingin Agar Turun Jabatan
Kurnia mengatakan, hal itu perlu ditegaskan.
Karena Pasal 5 UU KPK, dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, KPK berazaskan pada nilai keterbukaan, akuntabilitas, dan kepentingan umum.
Terlebih dalam pasal 3 ayat (1) Peraturan Dewan Pengawas Nomor 3 Tahun 2020 juga menyebutkan Dewas dalam melaksanakan pemeriksaan dan persidangan, berazaskan nilai akuntabilitas dan kepentingan umum.
Baca: Profil Singkat Ketua KPK Firli Bahuri yang Dituding Langgar Kode Etik Gara-gara Pakai Helikopter
"Oleh karena itu, Dewas dilarang menutup diri atas proses dan hasil pemeriksaan terhadap Firli Bahuri," ujar Kurnia.
Kedua, Dewas KPK diharapkan tidak hanya mengandalkan pengakuan Firli selaku terperiksa untuk membuktikan dugaan pelanggaran etik.
"Dewas mesti terus menggali, jika pengakuan terperiksa menyebutkan penggunaan transportasi itu berasal dari uang pribadi/gaji.
Baca: Firli Bahuri Sebut Gajinya Bisa untuk Sewa Helikopter, Berapa Gaji dan Tunjangan Ketua KPK?
"Maka pertanyaan lebih lanjutnya adalah metode pembayaran apa yang digunakan? Apa melalui pembayaran tunai atau menggunakan jasa perbankan?" kata Kurnia.
Selain itu, Firli sebagai terperiksa juga mesti menghadirkan bukti pembayaran autentik kepada majelis pemeriksa agar Dewas KPK bisa mendapatkan kebenaran.
Ketiga, Dewas KPK dinilai perlu melibatkan Kedeputian Penindakan KPK dalam memeriksa untuk melihat lebih jauh, apakah ada potensi penerimaan gratifikasi dari pihak tertentu atau tidak.
(Tribunnews.com/Maliana, Kompas.com/Ardito Ramadhan/Dani Prabowo)