Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fransiskus Adhiyuda
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Umum DPP Persatuan Alumni GMNI (2015-2020) Ahmad Basarah menegaskan untuk melawan ideologi transnasional yang saat ini berkembang di Indonesia diperlukan kerja konkret di segala bidang, mulai dari bidang politik, ekonomi, sosial, sampai bidang budaya.
Jika nasionalisme dan sistem demokrasi yang sekarang dianut bangsa Indonesia tidak membuahkan hasil nyata yang mensejahterakan apalagi membahagiakan rakyat, dikhawatirkan rakyat akan menoleh pada ideologi lain sebagai alternatif, misalnya ideologi transnasional yang mengusung konsep negara khilafah.
Hal itu disampaikan Ahmad Basarah saat membuka sekaligus memberi kata sambutan dalam Rakernas Persatuan Alumni GMNI bertema 'Posisi Alumni GMNI Dalam Menghadapi Tantangan Pancasila di Tengah Ancaman Ideologi Trans-Nasional' secara virtual, Sabtu (29/8/2020).
‘’Jika nilai-nilai Pancasila diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, misalnya kita membuat kampung-kampung tangguh yang di dalamnya terdapat gotong royong saat bangsa ini menghadapi pandemi Covid-19, rakyat akan merasakan langsung manfaat gotong royong yang terkandung dalam nilai-nilai Pancasila. Inilah yang saya maksud salah satu bentuk kerja konkretnya. Jika hal tersebut dirasakan banyak masyarakat, mereka tak akan lagi tertarik pada ideologi lain termasuk transnasionalisme yang dikampanyekan para pengusung paham negara khilafah,’’ tandas Ahmad Basarah.
Basarah mengatakan, gotong royong menghadapi pandemi COVID-19 merupakan salah salah satu bentuk kerja konkret sehingga jika hal tersebut dirasakan masyarakat, maka tidak akan lagi tertarik pada ideologi lain termasuk transnasionalisme yang dikampanyekan para pengusung paham negara khilafah.
Menurut dia, jika bangsa Indonesia pandai menjaga memori tentang sejarah bangsa, maka sesungguhnya tidak ada alasan lain untuk lari dari Pancasila sebagai ideologi bangsa.
"Menurut catatan sejarah di tanah air, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sesungguhnya sudah tumbuh dan mengakar di tengah nenek moyang bangsa Indonesia jauh sebelum Pancasila sebagai ideologi dilahirkan pada 1 Juni 1945," ujarnya.
Karena itu dia menilai faktor penting yang harus diperhatikan dan dijaga suatu bangsa dalam menjaga eksistensi bangsa dan negara dari kehancuran adalah menjaga sejarah bangsa itu sendiri.
Menurut politisi PDI Perjuangan itu, kaburnya sejarah suatu bangsa dan suatu negara akan menghancurkan bangsa dan negara itu sendiri.
Basarah mengutip pernyataan Sun Tzu yang menyebutkan bahwa untuk mengalahkan bangsa yang besar tidak perlu dengan mengirim pasukan perang yang besar, tapi cukup dengan menghapus pengetahuan atas sejarah kejayaan leluhurnya.
"Jika suatu bangsa melupakan sejarah berdirinya negara mereka sendiri, tidak akan lama, bangsa dan negara itu akan mengalami kehancuran," ujarnya.
Ketua DPP PDI Perjuangan itu menambahkan, ada tiga cara bisa dilakukan untuk melemahkan sekaligus menjajah suatu negeri; pertama dengan mengaburkan sejarah bangsa itu sendiri.
Kedua menurut dia, dengan menghancurkan bukti-bukti sejarah bangsa, dan ketiga dengan memutuskan hubungan mereka dengan para leluhur dengan mengatakan bahwa leluhur mereka bodoh dan primitif.
‘’Soal menjaga dan merawat sejarah bangsa ini penting dilakukan oleh kaum nasionalis yang aktif di GMNI. Mereka tidak boleh berhenti mengkaji sejarah bangsa sendiri sebagai bentuk menjaga kewaspadaan nasional demi keutuhan NKRI yang kita cintai," katanya.
Hadir juga sebagai pembicara dalam Rakernas Persatuan Alumni GMNI itu antara lain Wakil Ketua BPIP, Prof. Dr. Hariyono; Kepala BPHN Kemenkumham, Prof. Dr. HR Benny Riyanto; Hakim Mahkamah Konstitusi Prof. Dr. Arief Hidayat; dan Direktur Pusat Kajian Pancasila dan Konstitusi Universitas Jember Dr. Bayu Dwi Anggono.