TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif mengkritisi disahkannya revisi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK) oleh DPR.
Koordinator Bidang Konstitusi dan Ketatanegaraan Kode Inisiatif, Violla Reininda mengatakan, materi muatan revisi UU MK tidak substantif, tidak mendesak, dan sarat akan kepentingan politik.
"Terlihat jelas, pembentuk undang-undang memiliki iktikad buruk untuk membajak Mahkamah Konstitusi dan menjadikan MK kaki tangan penguasa di cabang kekuasaan kehakiman," kata Violla melalui keterangannya, Kamis (3/9/2020).
Violla mengatakan, disahkannya UU Mahkamah Konstitusi memberikan implikasi deteriorasi atau buruk pada moralitas berkonstitusi yang serius.
Dalam catatannya, ada beberapa hal yang memberikan implikasi buruk disahkannya revisi UU MK.
Pertama, revisi UU ini berpotensi kuat merenggut “mahkota” MK, independensi dan ketidakberpihakan.
Baca: Revisi UU MK, Arief Hidayat: Mahkamah Konstitus Tak Pernah Dilibatkan
"Aturan mengenai penghapusan periodisasi jabatan, perpanjangan masa jabatan hakim konstitusi hingga usia pensiun (70 tahun), serta masa jabatan ketua dan wakil ketua MK berpotensi menjadi komoditas untuk ditukarkan dengan amar putusan dan tindakan hakim konstitusi," katanya.
"Apalagi, pengaturan tentang jabatan hakim ini tidak dibarengi dengan penguatan pengawasan hakim, pengetatan penegakan kode etik, serta penyempurnaan dan penyeragaman standar rekrutmen hakim konstitusi di setiap lembaga pengusul. Telah terang, UU ini potensial berdampak pada kemerdekaan dan keberpihakan hakim konstitusi dalam memutus perkara konstitusional kelak," imbuhnya.
Kedua, barter “mahkota” MK berpotensi berbenturan dengan pelaksanaan kewenangan MK.
Violla menjelaskan barter politik ini diduga kuat ditujukan untuk mengamankan sejumlah pengujian undang-undang kontroversial yang menjadi perhatian publik secara luas.
"Misalnya, UU KPK, UU Keuangan Negara untuk Covid-19, dan UU Minerba serta RUU yang potensial mendapat penolakan publik, yaitu RUU Cipta Kerja dan RUU Pemilu. Padahal, MK selama ini menjadi sandaran dan kepercayaan publik untuk mengoreksi dan menginvalidasi aturan inkonstitusional serta menjadi ruang untuk memulihkan hak konstitusional yang terlanggar akibat buruknya legislasi dengan menghadirkan sejumlah putusan progresif dan berorientasi pada public interest," ujarnya.
Ketiga, konstelasi jabatan hakim konstitusi di masa depan berpotensi untuk diisi dengan calon-calon hakim yang dipertanyakan kenegarawanannya akibat tidak adanya penyempurnaan dan penyeragaman standar rekrutmen hakim di setiap cabang kekuasaan.
"Muruah dan keluruhan MK berpotensi dibajak dengan cara mendudukkan personil hakim konstitusi yang dapat tunduk pada lembaga pemilihnya semata," ujarnya.
Keempat, proses revisi dan materi muatan yang diatur dalam revisi UU MK semakin melegitimasi kebobrokan pembentukan legislasi yang mengingkari prosedur.
Hal ini telah menjadi desain buruk yang tertanam mengakar di kepala pembentuk undang-undang, proses pembentukan undang-undang dilakukan secara tertutup, tak mengakomodasikan aspirasi publik, tak melibatkan publik, tidak transparan, serta tidak esensial dan tidak menyentuh persoalan substantif dan krusial.
"Praktik seperti ini sangat berbahaya bagi perumusan undang-undang dan bagi keberlangsungan negara demokrasi konstitusional, ia hanya akan melanggengkan kepentingan dan kuasa oligarki semata," ujarnya.
Lebih lanjut, Violla menuturkan revisi UU Mahkamah Konstitusi menunjukkan betapa Indonesia tengah berada di titik paling rendah dalam berkonstitusi.
"Revisi UU ini adalah cermin politisasi kekuasaan kehakiman yang sempurna untuk menanamkan kaki tangan penguasa. Atas praktik kemunduran konstitusi ini, KoDe Inisiatif akan mengupayakan pengujian konstitusionalitas UU Mahkamah Konstitusi, baik dari segi formil maupun materiil," pungkasnya.