TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Ekonom Rizal Ramli mengajukan gugatan uji materi terhadap UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu ke Mahkamah Konstitusi.
Poin utama gugatan adalah penghapusan ambang batas syarat mencalonkan presiden atau presidential threshold menjadi 0 persen.
Rizal mengajukan gugatan tersebut bersama rekannya saat dipenjara pada 1978 lalu, Abdul Rachim Kresno.
Waktu itu, keduanya berjuang agar sistem di Indonesia berubah dari otoriter menjadi demokratis. Kini, mereka mengajukan gugatan agar Indonesia bisa mempertahankan prinsip demokrasi.
Rizal dan Abdul Rachim mendaftarkan gugatan tersebut ke MK dengan tanda terima bernomor 2018/PAN.MK/IX/2020. Adapun yang bertindak sebagai kuasa hukum adalah Refly Harun bersama Iwan Satriawan, Maheswara Prabandono, dan Salman Darwis.
Usai mendaftarkan gugatannya, Rizal menjelaskan alasannya meminta agar presidential threshold diubah menjadi 0 persen.
Menurut mantan Menko Perekonomian era Presiden Gus Dur itu, salah satunya alasannya karena demokrasi saat ini menjadi seperti kriminal.
"Kita berubah dari sistem otoriter ke sistem demokratis. Awalnya bagus. Tapi makin ke sini makin dibikin banyak aturan yang mengubah demokrasi Indonesia menjadi demokrasi kriminal," kata Rizal di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, Jumat (4/9/2020).
Rizal mengatakan, dengan menghapus ambang batas alias semua parpol peserta pemilu bisa mengajukan capres-cawapres, maka pemimpin yang dihasilkan dianggap lebih berkualitas dan terhindar dari money politic karena aturan PT.
"Kita ingin hapuskan jadi nol, sehingga siapa pun putra putri Indonesia terbaik bisa jadi bupati, bisa jadi gubernur, bisa jadi Presiden," ucap Rizal.
Baca: Rizal Ramli: Saat Ini Terjadi Demokrasi Kriminal
"Karena kalau enggak, pemimpin yang dihasilkan itu ya istilahnya modal gorong-gorong saja bisa jadi. Siapa ya kan? Main TikTok saja bisa kepilih jadi gubernur. Hancur enggak nih republik?" katanya.
Mantan Menko Maritim itu mengungkapkan, threshold 20 persen kursi DPR telah melahirkan praktik 'sewa parpol' untuk menjadi capres-cawapres.
Bahkan, untuk maju sebagai calon di pilkada, baik pilbup atau pilwalkot pun harus menyetor sejumlah uang ke parpol. Nilainya pun fantastis, mencapai ratusan miliar.
"Makin ke sini makin dibikin banyak aturan yang mengubah demokrasi Indonesia menjadi demokrasi kriminal. Bahasa sederhananya, kalau mau jadi bupati mesti nyewa partai, sewa partai itu antara Rp 30 sampai Rp 50 miliar," kata Rizal.