TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Politikus Hanura Inas Nasrullah Zubir angkat bicara mengenai pernyataan Komisaris Utama (Komut) PT Pertamina (Persero) Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang membahas masalah Pertamina dan menuai komentar berbagai pihak.
Melihat Ahok, Inas teringat akan politikus Demokrat M. Nasir yang mencecar Dirut Inalum di DPR beberapa waktu lalu.
Menurutnya kedua sosok ini memiliki gaya penampilan yang sama dalam berargumen dan punya tugas yang sama juga yakni pengawasan.
"Komisaris dan Parlemen sama-sama punya fungsi pengawasan. Pertamina adalah BUMN yang diawasi oleh komisaris dan juga parlemen. Ketika kinerja Pertamina perlu dikritisi oleh komisaris, maka tugas komisaris adalah menasehati direksi dalam rapat tertutup. Tapi ketika Pertamina perlu dikritisi oleh parlemen, maka tugas perlemen buka suara di publik," ujar Inas, dalam keterangannya, Kamis (17/9/2020).
Inas menjelaskan alasan komisaris harus menasehati direksi di ruang tertutup adalah karena komisaris terikat juga dengan Undang-Undang No. 40/2007 tentang Perseroan Terbatas.
Dimana jika ada rahasia perusahaan yang terungkap dalam nasehat komisaris tersebut, maka tidak boleh dibuka ke publik karena bisa tersandung pidana.
Dalam video tersebut, Inas menyoroti Ahok yang menyinggung mengenai lobi-lobi direktur kepada Menteri BUMN untuk pergantian jabatan.
Ahok menyebut semua Dewan Direksi Pertamina melakukan lobi ke menteri untuk pergantian direksi, dan emosi karena pergantian direktur itu tanpa memberitahu dirinya.
Inas pun menyayangkan hal tersebut.
"Sangat disayangkan ternyata Ahok tidak memahami mekanisme pemilihan direksi yang sudah diatur dalam Inpres No. 9/2005 tentang Pengangkatan Direksi BUMN melalui TPA atau Tim Penilaian Akhir yang terdiri dari Presiden, Wapres, Menkeu, Men BUMN dan Mensekneg. Jadi menteri BUMN tidak bisa seenak udelnya menunjuk seseorang untuk menjadi direktur di BUMN," jelasnya.
Baca: Bongkar Aib di Pertamina, Ahok Singgung Utang dan Gaji Direksi
Mantan Wakil Ketua Komisi VI periode 2017-2019 tersebut menyoroti pula Ahok yang mempersoalkan tentang investor kilang yang ditolak Pertamina.
Inas memperkirakan yang dimaksud Ahok adalah kerjasama RDMP kilang Cilacap dengan Saudi Aramco.
"Kenapa Ahok tidak bertanya kepada direksi Pertamina sebelum berbicara di publik? Padahal kerjasama tersebut harus batal, karena tidak ada titik temu tentang valuasi kilang Cilacap antara Pertamina dengan Saudi Aramco karena disparitas angkanya jauh sekali," ungkap Inas.
Selain itu, Ahok juga tidak memahami tentang bisnis di hulu.
Inas beralasan Ahok mengakan bahwa Pertamina masih memiliki 12 cekungan minyak dan gas, dan meminta Pertamina agar Pertamina fokus mengeksplorasi cekungan tersebut.
"Pertanyaannya adalah apakah ke 12 cekungan tersebut milik Pertamina? Bukan. Tapi milik negara yang dikuasai oleh SKK Migas," tandasnya.