TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komite Pemilih Indonesia (TePI) memandang berbagai tuntutan penundaan pilkada terlalu cepat diusulkan tanpa melihat lebih serius antisipasi terhadap dampak penundaan Pilkada 2020.
Cara ini terkesan terlalu pasrah dan ingin menghindar dari kenyataan.
"Tentu keselamatan rakyat penting sekali jadi perhatian. Bagi kami, itu harus jadi perhatian paling tinggi. Dan ini juga jadi fokus ketika, di bulan Juni lalu, mengambil keputusan sebagai bangsa untuk tetap melaksanakan Pilkada Serentak tahun ini," jelas Koordinator Tepi Jeirry Sumampow kepada Tribunnews.com, Senin (20/9/2020).
Baca: DPD RI Ajak Rakyat Indonesia Tunda Pilkada 2020
Baca: Anggota Komisi II DPR Minta Pilkada Tak Perlu Ditunda, Ini Alasannya
Jeirry mengamati, Pascamomen pendaftaran pasangan calon awal bulan ini, tuntutan penundaan Pilkada Serentak 2020 makin kencang.
Semakin banyak kalangan kini menyuarakan penundaan Pilkada, mulai dari kelompok pegiat pemilu, lembaga negara hingga kelompok keagamaan.
"Pertanyaannya apakah perhatian itu sudah kita laksanakan dengan baik? Di sini perlu ada evaluasi untuk melihat dimana letak persoalannya. Bukan dengan buru buru mengusulkan penundaan Pilkada," ujarnya.
Baca: PBNU Minta Pilkada 2020 Ditunda
Baca: Ray Rangkuti: Wacana Pengembalian Pilkada ke DPRD Akan Membuat Keterlibatan Perempuan Berkurang
Menurut Jeirry Sumampow, boleh-boleh saja wacana penundaan Pilkada dikemukakan.
Tapi melakukan itu tanpa melakukan evaluasi mendalam dan memetakan letak persoalannya, merupakan sikap dan tindakan yang terlalu terburu-buru.
Berikut ini penyikapan Komite Pemilih Indonesia (TePI) merespon wacana penundaan Pilkada yang digulirkan oleh beberapa kalangan:
1. Cara kita menangani persoalan memang cenderung cari gampang. Bukan lihat dan dalami persoalan lalu cari solusi, tapi cenderung mencari kambing hitam.
Ini terjadi mulai dari persoalan yang sifatnya remeh-temeh sampai persoalan yang serius dan rumit. Kami menilai bahwa cara inilah yang terjadi dalam kasus tuntutan penundaan Pilkada. Jika begini, memang bakal repot terus ke depan, tak akan ada kepastian.
2. Tak tepat jika Pilkada dijadikan kambing hitam kegagalan kita dalam menangani penyebaran covid-19.
Sebab, apa bedanya kumpulan orang yang setiap hari beraktifitas di pasar tanpa protokol Covid-19 yang ketat dengan kumpulan massa di Pilkada? Dalam kerangka penanganan Covid-19, mestinya sama saja. Tapi yang disalahkan adalah kumpulan massa dalam Pilkada. Yang di pasar dianggap ok saja, tak masalah.
3. Kalau mau didalami, ada ketidakberesan penyelenggara yang tak mengantisipasi tahapan pendaftaran calon kemarin, sehingga menjadi ramai diperbincangkan sebagai pembuat cluster penularan Covid-19 baru.
Lagi-lagi, ketakberdayaan terhadap Pandemi Covid-19 seolah dijadikan tameng untuk membenarkan kinerja penyelenggara yang tak becus itu.
4. Penyelenggara tak boleh pasrah dan membiarkan seolah memang sudah begitulah keadaannya Pilkada dalam suasana Pandemi Covid-19.
Penyelenggara tak boleh merasa bahwa karena Pandemi Covid-19 ini maka mereka tak punya kuasa apa-apa untuk mengatasinya, tanpa berupaya serius memikirkan bagaimana agar tahapan tak menjadi cluster penularan Covid-19.
Bukankah mereka diberikan kewenangan oleh UU untuk mengatur, jika perlu memaksa, agar tahapan Pilkada tak menjadi arena penularan Covid-19? Bagi kami itu jelas dalam UU No.6/2020?
5. Dalam kerangka Pilkada dimasa Covid-19 ini, penyelenggara juga mesti menyesuaikan hal-hal dalam tahapan yang berpotensi menjadi media penularan Covid-19.
Mekanisme teknis dalam setiap tahapan harus disederhanakan. Tak boleh persis sama dengan pada masa normal. Jika ada hal yang bisa menjadi media penularan, maka itu bisa saja ditiadakan. Itu bagian dari resiko yang harus diambil demi kebaikan dan keselamatan bersama. Tak boleh takut untuk melakukan hal itu.
Misalnya, dalam tahapan penetapan calon nanti atau kampanye. Pengerahan massa harus dilarang dan jika terjadi harus ditindak dengan tegas. Berikan sangsi sesuai dengan regulasi yang ada.
6. Jika ditunda, kapan tundanya? Jika menunggu Pandemi Covid-19 berakhir, kapan itu?
Bisa satu, dua atau bahkan 5 tahun lagi. Apakah kita harus menunggu selama itu dalam ketidakpastian? Karena tidak ada yang bisa memberikan kepastian, maka bukankah lebih baik kita lanjutkan dengan penerapan protokol kesehatan Covid-19 yang lebih ketat dan penerapan sangsi yang lebih tegas?
Mari kita pertimbangkan dengan rasional dan objektif demi kebaikan dan keselamatan bersama!