News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Gerakan 30 September

Tak Izinkan Nobar G30S/PKI, FAKI: Polisi Harus Adil, Acara Bobby Nasution Langgar Protokol Kesehatan

Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya
Editor: Choirul Arifin
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ilustrasi - Poster film G30S/PKI.

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Vincentius Jyestha

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Umum Front Anti Komunis Indonesia (FAKI) Edy Mulyadi angkat bicara mengenai Polri yang tak memberikan izin nonton bareng (nobar) film Gerakan 30 September (G30S/PKI) di tengah pandemi Covid-19.

Edy menegaskan, aparat kepolisian harus bertindak adil dalam hal ini. Eddy menegaskan, alasan untuk tidak berkerumun dan berkumpul untuk mencegah penularan virus Covid-19 tidak ditegakkan dengan benar.

"Terkait larangan nobar dengan dalih Covid-19 ini, saya Edy Mulyadi Ketua Umum FAKI minta kepada Polri yang fair. Yang adil, jangan segala macam dalihnya Covid-19 nggak boleh kumpul," ujar Edy, ketika dihubungi Tribunnews.com, Selasa (29/9/2020).

Edy, yang juga salah satu deklarator Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), menilai aneh jika Polri melarang nobar G30S/PKI.

Karena di sisi lain, Polri tidak bergerak atau melarang ketika pemerintah tetap ngotot melangsungkan Pilkada Serentak 2020 yang rawan akan kerumunan massa.

Baca: Wakil Ketua DPRD Tegal yang Gelar Dangdutan di Acara Hajatan Akhirnya Jadi Tersangka

"Sekarang buktinya pemerintah masih ngotot tuh mau Pilkada. Dan Polri nggak ngomong apa-apa tuh," kata dia.

Dia juga mempertanyakan mengapa Polri tak melarang dan membubarkan acara bakal calon Pilwalkot Medan yakni Bobby Nasution-Aulia Rachman yang melanggar protokol kesehatan.

Baca: Tanggapan Ketua PA 212 Terkait Larangan Polisi Bikin Nobar Film G30S/PKI 

"Sekali lagi soal Covid-19 ini juga ada standar ganda. Di Medan itu mantunya Jokowi bikin acara, kampanye pertama itu mbludak (penuh, - red), (tapi) nggak dilarang, nggak dibubarkan," kata dia.

Menurutnya, polisi seharusnya bertindak sebagai alat negara dan bukannya alat penguasa atau pemerintah. Sehingga tidak membungkam pihak-pihak yang kritis terhadap kekuasaan saat ini.

Baca: Acara KAMI di Surabaya Dibubarkan dan Diprotes, Gatot Nurmantyo: Kalau Perlu Demo Lebih Banyak

"Polisi itu adalah alat negara, bukan alat penguasa, bukan alat pemerintah. Polisi itu melindungi, mengayomi dan melayani rakyat. Jadi jangan polisi menjadi alat kekuasaan untuk membungkam pihak-pihak yang kritis terhadap kekuasaan. Kalau Polri memang mau ketat dengan aturan Covid-19 itu ya harusnya bubarkan itu atau larang itu acaranya Bobby Nasution mantunya Jokowi," tandasnya.

Sebelumnya Mantan Panglima TNI yang juga Presidium Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), Gatot Nurmantyo menduga tentang bangkitnya komunisme di Indonesia.

Gatot menyebut, bangkitnya Partai Komunis Indonesia gaya baru, terendus semenjak tahun 2008.

Saat itu, Gatot mendapatkan berbagai informasi tentang adanya gerakan tersebut.

"Saya mengamati tentang kemungkinan2 bangkitnya gerakan Partai Komunis Indonesia gaya baru. Ini diawali sejak 2008," ujar Gatot dikutip Wartakotalive.com dari channel Youtube Hersubeno Arief, Rabu (23/9/2020).

Meski demikian, saat itu Gatot tidak bisa menyampaikan informasi itu secara terang-terangan.

"Setelah saya mendapat informasi-informasi, sehingga saya memaksakan membungkus semua gerakan ini dengan proxy war. Karena belum saatnya saya membuka gerakan mereka. Memang gerakan ini tidak bisa dilihat bentuknya, tetapi dirasakan bisa."

Gatot menyebut, terjadi penyusupan gerakan komunisme di Indonesia. Ia mencium itu dari sejumlah fenomena yang terjadi sejak 2008.

"Sejak tahun 2008 seluruh sekolah segala tingkatan pelajaran sejarah tenang G-30 S/PKI ditiadakan. Ini sesuatu hal yang sangat berbahaya karena kalau yang paling junior adalah kelas enam SD, maka merka yang duduk di universitas saat ini mereka tidak pernah mengenyam pelajarn tersebut," jelasnya.

Gatot kemudian  kerap mengisi kuliah umum dan menyelipkan bahaya kebangkitan komunisme kepada para generasi muda.

"Sehingga pada tahun 2017, bahwa generasi muda 90 persen lebih tidak percaya adanya PKI. Maka dengan data-data yang ada, pertama kali pada 10 maret 2015 saya masih jabatan Pangkostrad saya beranikan memberikan kuliah umum tentang proxy war di UI (universitas Indonesia). Dan sampai dengan saya panglima TNI sudah 59 kali saya melaksanakan kuliah umum."

Gatot melihat adanya upaya-upaya pelemahan mental pemuda bangsa. Sehingga, ia memutuskan untuk menyerukan untuk menonton film Pemberontakan G-30S PKI ketika ia menjabat sebagai panglima TNI.

"Pada saat saya jadi panglima TNI, saya perintahkan jajaran saya untuk menonton fil G30S-PKI," ungkapnya.

Gatot bercerita, ketika ia menyerukan untuk menonton film itu, ada pihak yang mengingatkannya agar tidak melakukan hal itu.

Gatot, secara terang-terangan menyebut, orang yang memberikan nasihat tersebut berasal dari sebuah partai.

Orang tersebut, bahkan, mengingatkan, Gatot akan dicopot dari jabatannya jika melanjutkan seruannya tersebut.

Tapi Gatot tidak gentar. Ia tetap menyerukan agar masyarakat menonton film itu.

"Pada saat itu saya punya sahabat dari salah satu partai, menyampaikan 'Pak Gatot hentikan itu Kalau tidak pasti Pak Gatot akan diganti. Saya bilang terimakasih, Tapi saya gas, karena ini adalah benar-benar berbahaya. Dan benar-benar saya diganti," jelasnya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini