Sama seperti yang lainnya, Heru menyoroti Pasal 26 dan Pasal 65 UU Cipta Kerja.
"Keberadaan pasal ini sama saja dengan menempatkan pendidikan sebagai komoditas yang diperdagangkan," ucap Heru.
Baca: UU Cipta Kerja: Pembahasannya Dipimpin Politisi Gerindra, Hasilnya Dikritik Fadli Zon
Hal yang sama diungkapkan anggota Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa Ki Priyo Dwiyarso.
Ia menegaskan menolak masuknya klaster pendidikan pada Undang-undang Cipta Kerja.
Menurut Priyo, pasal tersebut bertentangan dengan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) dan Azas Tamansiswa karena menjurus pada komersialisasi pendidikan.
"Ada usaha komersialisasi pendidikan dan kebudayaan, bertentangan dengan kewajiban pemerintah harus memberi hak tiap warga negara dalam memperoleh pendidikan," kata Priyo kepada Tribunnews.com, Selasa (6/10/2020).
Priyo mengatakan awalnya DPR setuju untuk mengeluarkan klaster pendidikan dalam UU Cipta Kerja.
Namun, pasal soal pendidikan kembali muncul dalam undang-undang tersebut.
Padahal dalam UUD 1945, pendidikan dikategorikan sebagai usaha nonprofit.
Rencananya, Tamansiswa bakal mengajukan uji materi atau judicial review terkait pasal tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK).
"Upaya ajukan judicial review kepada MK akan diupayakan oleh PKBTS bersama komunitas pendidikan utamanya dari kalangan NU dan Muhammadiyah," kata Priyo.
Penjelasan Baleg DPR
Menyikapi hal tersebut, Badan Legislasi (Baleg) DPR RI menegaskan Pasal 65 dalam Undang-Undang Cipta Kerja terkait pendidikan, hanya berlaku di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), tidak untuk wilayah lainnya.
Anggota Baleg DPR Fraksi Golkar Ferdiansyah mengatakan, izin usaha pendidikan dalam UU Cipta Kerja tidak seperti yang dikhawatirkan masyarakat, karena hanya mengatur konteks perizinan usaha dan berlaku di 15 KEK yang ditetapkan pemerintah.