TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah didesak segera membuka kepada publik dokumen final Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja yang telah disahkan pada Rapat Parpipurna hari Senin (05/10).
Seorang pakar hukum tata negara menyebut sesuai aturan, dokumen itu wajib dibuka ke masyarakat begitu disetujui.
Jika tidak, maka dikhawatirkan masuknya "pasal-pasal selundupan" dalam undang-undang tersebut.
Menjawab desakan itu, beberapa anggota Badan Legislatif dan seorang wakil ketua DPR saling melempar tanggung jawab.
Sementara itu, hingga Minggu (11/10) malam pemerintah belum mengeluarkan pernyataan tentang akses terhadap naskah undang-undang.
Baca: Ganjar Pranowo: Saya Itu Setuju dengan UU Cipta Kerja, Ini Bagus Banget
Para Hukum Tata Negara dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Zainal Arifin Mochtar, mempertanyakan keseriusan DPR dan pemerintah dalam menyusun dan membuat Undang-Undang Cipta Kerja.
Sebab sepekan setelah disahkan dalam Rapat Paripurna, Senin (05/10), masyarakat belum mendapatkan dokumen undang-undang tersebut.
Padahal jika merujuk pada Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dan Tata Tertib DPR, salinan dokumen akhir yang telah disetujui harus diterima oleh setiap anggota dewan tanpa kecuali dan langsung bisa diakses oleh publik.
"Harusnya di tahapan persetujuan, sudah selesai itu barang. Tidak boleh diutak-atik, tidak boleh diapa-apain lagi. Ini kan enggak. Malah lebih konyol, kita tidak tahu di mana drafnya itu. Padahal dalam undang-undang diwajibkan [adanya] transparansi," ujar Zainal Arifin Mochtar kepada Quin Pasaribu yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Minggu (11/10).
Dia menjelaskan, keterbukaan dan kemudahan masyarakat mendapatkan dokumen sangat penting karena bisa menjadi alat kontrol jika terjadi perubahan atas isi undang-undang.
"Siapa yang bisa kontrol jika ada perubahan atau kudeta redaksional?" kata Zainal.
Ia khawatir semakin lama dokumen itu di tangan DPR akan terulang kembali kasus masuknya "pasal selundupan".
Ketakutannya itu merujuk pada tiga kasus, yakni adanya pasal tentang kretek dalam draf Rancangan Undang-Undang Kebudayaan di tahun 2015.
Kemudian adanya penambahan jumlah pasal dalam Undang-Undang tentang Penyelenggaran Pemilu pada tahun 2007.
Lalu perubahan ketentuan dalam pasal yang mengatur usia pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tahun 2019.
"Kasus Undang-Undang Pemilu, temuan LSM CETRO jumlah pasal yang disetujui 315, ketika keluar jadi 320 pasal. Ada tambahan lima pasal."
"Di UU KPK yang baru, ada pasal tentang usia pimpinan KPK minimal 50 tahun. Nah, di bagian huruf tertulis 40, tapi di angka tertulis 50. Kita debat waktu itu. Setneg dan DPR berbeda-beda alasannya."
"Jadi kenapa penting ada draf akhir? Supaya tidak ada kudeta redaksional," katanya mempertegas.
Dalam pengamatannya pula, insiden "pasal selundupan" selalu terjadi pada undang-undang kontroversial. Selebihnya, salinan dokumen selalu diberikan ketika diputuskan dalam Rapat Paripurna.
Karena itulah, ia mendesak DPR dan pemerintah membuka dokumen akhir Undang-Undang Cipta Kerja kepada publik. Sebab tahapan berikutnya yakni penyerahan undang-undang kepada presiden untuk di-undangkan, hanya urusan administratif semata.
Sehingga alasan DPR yang mengatakan masih memperbaiki kesalahan ketik atau redaksional, tidak bisa diterima.
Anggota Baleg: 'DPR sudah melanggar aturan'
Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR dari fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Bukhori Yusuf, mengaku tidak bisa memastikan kapan dokumen final Undang-Undang Cipta Kerja bisa diakses publik.
Sebab hingga Minggu (11/10) malam, ia belum mendapat informasi jelas tentang naskah akan dibagikan kepada tiap-tiap anggota dewan.
Sebagai anggota Panitia Kerja (Panja) RUU Cipta Kerja, Bukhori mengatakan semestinya salinan undang-undang itu sudah di tangan anggota begitu disetujui dalam rapat persetujuan tingkat I.
Karena dalam rapat itulah, seluruh anggota fraksi menyatakan pendapatnya dan ditandatangani oleh tiap-tiap anggota yang hadir untuk selanjutnya dibawa ke Rapat Paripurna DPR.
"Atas dasar naskah itu (dalam rapat persetujuan tingkat I) dibawa ke paripurna. Apabila terjadi perubahan di paripurna baru akan ada perbaikan," imbuh Bukhori kepada BBC News Indonesia, Minggu (11/10).
"Karena itu diakui atau tidak, tersinggung atau tidak tersinggung yang jelas sudah melanggar aturan," sambungnya.
Bukhori menyebut ada kemungkinan tim ahli DPR masih memperbaiki redaksional undang-undang yang berjumlah hampir 1.000 halaman itu.
"Ini kan bukan pasal yang sedikit, tapi meliputi ribuan halaman dan ribuan pasal turunan. Makanya kita ingatkan sejak awal, supaya lebih hati-hati dan tidak tergesa-gesa."
Sebelumnya, Ketua Baleg DPR, Supratman Andi Agtas menjanjikan draf itu dapat diakses pada awal pekan depan atau Senin (12/10).
Tapi saat BBC Indonesia bertanya kepada Wakil Ketua Baleg DPR, Ahmad Baidhowi, ia enggan berkomentar dan melempar ke pimpinan DPR. Sementara itu, Wakil Ketua DPR Aziz Syamsuddin menyerahkan persoalan ini ke Badan Legislasi.
"Itu porsi mereka yang di Baleg," kata Aziz Syamsuddin kepada BBC melalui pesan singkat, Minggu (11/10).
Baca: Pengamat Politik: Ada Masalah Komunikasi Politik Pemerintah dan DPR dalam RUU Cipta Kerja
Sementara Juru Bicara Presiden Joko Widodo, Fadjroel Rahman juga tidak berkomentar banyak.
"Silakan ke Setjen DPR," katanya.
'Publik harus bisa mengakses UU Cipta Kerja karena mengatur hajat hidup orang banyak'
Kendati salinan akhir belum diperoleh, draf Undang-Undang Cipta Kerja tertanggal 5 Oktober 2020 yang berjumlah 905 halaman telah beredar di masyarakat. Hanya saja, dokumen itu disebut beberapa anggota Baleg DPR bukanlah versi final.
Presiden Joko Widodo dan sejumlah menteri kemudian menyebut pasal-pasal yang beredar di media sosial sebagai hoaks.
Komisioner Komisi Informasi Pusat (KIP), Cecep Suryadi, mengatakan dokumen akhir Undang-Undang Cipta Kerja harus dibuka kepada publik karena aturan di dalamnya menyangkut hajat hidup orang banyak.
"Jelas sangat penting diakses publik, karena undang-undang itu mengatur hajat hidup orang banyak. Ada terkait dengan sistem tenaga kerja, kontrak, sehingga kementerian harus membuka ruang-ruang diskusi ke masyarakat luas," ujar Cecep Suryadi kepada BBC News Indonesia.
"Agar masyarakat benar-benar mengetahui apa substansi yang di kandung di undang-undang itu."
Ia juga menjelaskan, partisipasi masyarakat dalam pembentukan suatu undang-undang diperlukan agar tidak menimbulkan kecurigaan. Terlebih, katanya, menghindari informasi yang simpang-siur.
Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja berisi 11 klaster yang menggabungkan 79 undang-undang yang di dalamnya menyangkut aturan tentang ketenagakerjaan, penyederhaan perizinan, persyaratan investasi, hingga administrasi pemerintahan.
Undang-Undang ini pun mendapat penolakan dari buruh, akademisi, dan pegiat lingkungan karena dianggap merugikan pekerja dan merusak lingkungan demi investasi.