News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

UU Cipta Kerja

Masih Polemik UU Cipta Kerja: Permintaan MUI Ditolak, Kritik Legislator PKS dan Demokrat

Penulis: Facundo Chrysnha Pradipha
Editor: Tiara Shelavie
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Aparat kepolisian menembakkan gas air mata ke arah massa aksi saat demonstrasi di Gambir, Jakarta, Selasa (13/10/2020). Demonstrasi penolakan UU Cipta Kerja berakhir ricuh. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN

TRIBUNNEWS.COM - Pengesahan RUU Cipta Kerja menjadi UU Cipta Kerja pada beberapa waktu lalu masih menjadi perbincangan hangat hingga kini.

Sejumlah golongan menyatakan penolakan terhada[ berlakunya UU Cipta Kerja yang disebut Omnibus Law itu.

Bahkan elemen buruh dan mahasiswa menggelar aksi demonstrasi menolak UU Cipta Kerja pada Kamis (8/10/2020).

Sementara mulai dari legislator PKS hingga Partai Demokrat memberikan kritik.

Hingga setuju dengan gagasan pembatalan UU Cipta Kerja melalui legislative review.

Di sisi lain, Menko Polhukam Mahfud MD mempertanyakan isu naskah UU Cipta Kerja diubah setelah disahkan.

Baca juga: POPULER NASIONAL Jokowi Tolak Permintaan MUI | Pengadaan Mobil Dinas Pimpinan KPK Disindir

Inilah fakta-fakta yang dirangkum Tribunnews.com terkait polemik UU Cipta Kerja:

1. Permintaan MUI Ditolak Presiden

Pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah menggelar pertemuan dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Istana Bogor, Jawa Barat, pada Jumat (16/10/2020) sekitar pukul 10.00 WIB.

Baca juga: Tanggapi Moeldoko, KSBSI: Kami Menolak karena Hak Kami Hilang oleh UU Cipta Kerja

Dalam pertemuan tersebut, rombongan pengurus MUI dipimpin oleh Wakil Ketua MUI Muhyiddin Junaidi. Pada pertemuan tersebut, pengurus MUI menyampaikan ketidaksetujuan masyarakat terutama umat Islam kepada UU Cipta Kerja.

"Buya Muhyidin Junaedi menyampaikan bahwa undang-undang Cilaka, atau sekarang Cipta Kerja ini ditolak oleh umat dan berbagai elemen masyarakat dengan unjuk rasa," ungkap Wasekjen MUI Najamudin Ramli dalam webinar 'Lintas Elemen Tolak UU Omnibus Law Cipta Kerja, Serius?', Sabtu (17/10/2020).

Berdasarkan hal tersebut, pengurus MUI mengusulkan agar Jokowi mencabut UU Cipta Kerja itu dengan menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perpu).

Namun permintaan tersebut ditolak oleh Jokowi. Mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut mendorong agar MUI melakukan gugatan uji materi atau judicial review ke Mahkamah Konstitusi.

"MUI meminta supaya presiden mengeluarkan Perpu di hadapan Pak Jokowi. Tapi pak Jokowi menyatakan mungkin dia tidak bisa. Beliau mendorong kepada mahkamah konstitusi dan beliau menjanjikan akan mengadopsi di aturan pemerintah," ucap Najamudin.

2. Anis PKS Beri Catatan Kritis

Pemerintah menyebut UU Omnibus Law Cipta Kerja sebagai salah satu prioritas transformasi utama, termasuk untuk pemulihan ekonomi pasca pandemi.

Anggota Komisi XI DPR RI Fraksi PKS Anis Byarwati memberikan beberapa catatan kritis tentang hal ini.

Terutama mengenai seberapa besar UU Cipta Kerja ini dapat membantu ekonomi Indonesia pulih setelah tertekan pandemi Covid-19.

Menurut Anis, Omnibus Law Cipta Kerja memiliki beberapa titik kelemahan.

"Pertama, kelemahan itu berawal dari minimnya penjelasan tentang arah RUU Omnibus Law Cipta Kerja. Pemerintah menyebut ‘perbaikan iklim investasi’ namun tidak menerangkan secara detail bagaimana RUU ini berjalan memperbaiki roda perekonomian Indonesia," ujar Anis, dalam keterangannya, Senin (19/10/2020).

Kedua, Pemerintah mengganggap UU Omnibus Law Cipta Kerja diperlukan untuk menstimulus perekonomian nasional yang terhempas krisis apalagi di tengah pandemi Covid-19.

Baca juga: Ketidakyakinan Buruh Atas Lapangan Kerja Baru dan Klaim Respon Positif Dunia Terhadap UU Cipta Kerja

Padahal menurut Anis perlambatan ekonomi Indonesia saat ini tidak bisa diselesaikan dengan hanya regulasi.

Karena permasalahan ekonomi Indonesia terletak kepada hal yang lebih mendasar atau fundamental.

"Diantara permasalahan ekonomi Indonesia yang mendasar adalah produktivitas tenaga kerja kita yang masih rendah. Menurut laporan Indeks Kompetisi Global yang dirilis di World Economic Forum (WEF) pada tahun lalu, kemampuan pekerja Indonesia berada di peringkat ke 65 dari 141 negara dengan skor 64," terangnya.

Peringkat ini, kata Anis, kalah dari negara tetangga seperti Malaysia yang berada di peringkat ke 30 dengan skor 72.5.

Walaupun Indonesia sendiri masih unggul dari Thailand dan Vietnam yang berada di peringkat 73 dan 93. Berdasarkan data ini, Anis menilai UU Cipta Kerja tidak menjawab permasalahan.

"Sementara UU Cipta Kerja hanya fokus untuk menghasilkan lapangan kerja baru bukan untuk meningkatkan produktivitas pekerja," kata dia.

Alasan ketiga, Anis mengatakan Omnibus Law RUU Cipta Kerja hanya menyentuh problem ekonomi struktural negara dengan fokus utama untuk mempermudah investasi, dan melonggarkan regulasi ketenagakerjaan bukan ke arah ekonomi fundamental.

Jika pemerintah gagal mengatasi permasalahan fundamental ini, Anis menilai ekonomi Indonesia tidak akan bangkit dari stagnasi.

Keempat, RUU Cipta Kerja dimaksudkan untuk mempermudah investasi.

"Tetapi dengan meletakkan prioritas pada isu ketenagakerjaan, ini adalah diagnosis yang keliru," tegas Anis.

Mengutip data World Economic Forum, permasalahan utama yang menghambat investasi di Indonesia adalah korupsi dan ketidakpastian hukum yang melingkupinya.

Riset WEF menunjukkan terdapat 16 faktor yang menjadi penghalang iklim investasi di Indonesia dan korupsi menjadi kendala utama.

Indonesia saat ini berada di urutan ke-85 dari 180 negara di Indeks Persepsi Korupsi Perception Index 2019 yang di rilis oleh Transparency International.

"Dengan memperhatikan poin-poin di atas, agaknya kita tidak bisa berharap Omnibus Law akan menjadi solusi terhadap permasalahan ekonomi Indonesia di tengah pandemi COVID-19," ujarnya.

3. Demokrat Dukung Legislative Review

Anggota Badan Legislasi (Baleg) dari Fraksi Demokrat Hinca Panjaitan mengatakan partainya menyambut baik ide dan gagasan untuk membatalkan UU Cipta Kerja melalui jalur legislative review.

"Ide dan gagasan ini baik sekali, kita hargai," ujar Hinca, ketika dihubungi Tribunnews.com, Senin (19/10/2020).

Hanya saja, Hinca mengatakan posisi jumlah kursi Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tak cukup memadai untuk memuluskan inisiatif ini. Terutama untuk memulai proses pembahasannya sampai tuntas.

Namun, anggota Komisi III DPR RI itu menegaskan legislative review merupakan solusi yang bagus. Apalagi jika fraksi lainnya juga turut melakukannya.

"Sekali lagi ide ini bisa juga sebagai alternatif solusi yang bagus, apalagi jika fraksi-fraksi lain di DPR berkenan melakukannya," kata Hinca.

"Pemerintah pun mempunyai semangat yang sama, karena pembahasannya harus melibatkan pemerintah sesuai Pasal 20 UUD 1945, setiap UU itu dibuat dan disetujui bersama DPR dan Presiden, termasuk pembatalannya," kata Ketua Dewan Kehormatan dan anggota Majelis Tinggi Partai Demokrat itu.

Baca juga: UU Cipta Kerja Diharapkan Bisa Melindungi Pelaut Indonesia

4. Sri Mulyani Sebut Lembaga Keuangan Dunia Tanggap Positif

Kementerian Keuangan menyatakan, sejumlah lembaga keuangan internasional memberi tanggapan positif terhadap lahirnya Undang-undang (UU) Cipta Kerja.

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, lembaga-lembaga dunia itu menyebut UU Cipta Kerja sebagai harapan baru untuk ekonomi Indonesia.

"Mereka melihat suatu harapan yang positif bagi Indonesia untuk terus pulih dan memperkuat ekonominya secara berkelanjutan. Tanpa hanya mengandalkan pada kebijakan fiskal dan dukungan dari moneter," ujarnya saat konferensi pers virtual, Senin (19/10/2020).

Sri Mulyani mencontohkan, lembaga keuangan Moody's melihat UU ini positif dapat menarik investasi untuk pertumbuhan ekonomi jangka panjang.

"Ini akan bisa berdampak positif terhadap konsolidasi fiskal kita dan juga tentu saja mereka mengharapkan untuk masalah lingkungan hidup dan relaksasi standarnya memerlukan perhatian," katanya.

Kemudian, Fitch menyampaikan bahwa UU ini berdampak positif terhadap reformasi iklim usaha dan implementasi dari UU tersebut akan menentukan dampak dari potensi pertumbuhan ekonomi Indonesia jangka panjang dan akan diharapkan membawa perubahan nyata.

Asian Development Bank (ADB), lanjut Sri Mulyani berkomitmen untuk melihat pemulihan dari perekonomian Indonesia dan perbaikan prospek ekonomi jangka menengah lewat UU Cipta Kerja.

Menurut ADB, UU ini membantu pemulihan perekonomian Indonesia dan mendukung untuk terjadinya pembukaan pasar tenaga kerja yang lebih adil, sekaligus penanganan masalah pelestarian lingkungan hidup.

Selain itu, dia menambahkan, Bank Dunia juga melihat pemulihan ekonomi Indonesia dalam jangka panjang dengan UU Cipta Kerja.

Bank Dunia melihat UU ini akan membuat bisnis semakin terbuka dalam menarik investasi dan menciptakan lapangan kerja, serta memerangi kemiskinan.

"Mereka (Bank Dunia) berkomitmen untuk bekerjasama di dalam mendukung reformasi struktural ini. Ini sesuatu yang cukup positif dan merupakan satu sinyal bahwa Indonesia dalam memulihkan ekonomi akibat pandemi Covid-19 ini tidak melulu menggantungkan kepada instrumen kebijakan makro yaitu fiskal dan moneter," papar Sri Mulyani.

5. Mahfud MD Soal isu Naskah Diubah

Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD menyebut ada enam versi Undang-Undang (UU) Omnibus Law Cipta Kerja di meja kerjanya.

Dari enam versi tersebut, empat di antaranya merupakan naskah yang dibuat pemerintah sebelum dikirim ke DPR.

Mahfud mengungkapkan hal tersebut ketika ditanya Karni Ilyas terkait dengan kontroversi di masyarakat tentang banyaknya versi UU Omnibus Law Cipta Kerja.

"Itu di meja saya itu sudah ada naskah enam versi. Saya mulai dari yang di eksekutif dulu. Di eksekutif sendiri itu saya punya empat di meja saya," kata Mahfud saat wawancara dengan Karni Ilyas dalam tayangan bertajuk Karni Ilyas Club - "Sekarang Anda Bohong, Besok Dibongkar Orang" yang tayang perdana di kanal Youtube Karni Ilyas Club pada Minggu (18/10/2020).

Baca juga: Legislator PKS Ungkap Beberapa Titik Kelemahan dalam UU Cipta Kerja

Mahfud menjelaskan hal itu di antaranya karena pemerintah coba mengakomodir respon dari masyarakat terkait dengan isi dari UU Omnibus Law Cipta Kerja.

"Karena memang semula itu Undang-Undangnya kan, ya sembilan ratus sekian lah. 970 atau berapa. Sesudah beredar di masyarakat diprotes. Berubah, menjadi menebal. Diprotes lagi, berubah lagi. Sehingga yang versi pemerintah pun itu sudah beberapa kali karena diubah sebelum masuk ke DPR," kata Mahfud.

Setelah pemerintah mengirimkannya ke DPR, kata Mahfud, naskah UU Omnibus Law Cipta Kerja tersebut juga sempat mengalami perubahan.

"Nah sesudah masuk ke DPR kan juga ada berubah, pasal 170 diubah, pasal ini diubah. Terus berubah terus tapi panjang," kata Mahfud.

Namun demikian ia mempertanyakan kebenaran kabar yang menyebut UU tersebut berubah isinya setelah DPR melakukan pengesahan di rapat paripurna.

Sejauh ini yang ia dengar adalah naskah tersebut hanya mengalami perubahan dari sisi teknis misalnya jenis huruf atau spasi.

"Nah memang yang agak serius bagi saya, yang harus dijawab oleh DPR itu, sesudah palu diketok, itu apa benar sudah berubah, atau hanya soal teknis. Yang saya dengar itu tidak berubah. Jadi semula dicetak dengan font tertentu yang lebih besar, dengan spasi yang lebih besar menjadi 1.035. Tapi sesudah fontnya dikecilkan menjadi 812 halaman. Benar apa tidak, nanti kan bisa dicocokkan saja. Kan mestinya ada dokumen untuk mencocokkan itu," kata Mahfud.

Baca juga: Fraksi Demokrat Pertimbangkan Tempuh Jalur Legislative Review Ubah UU Cipta Kerja

Mahfud menambahkan jika isi naskah tersebut mengalami perubahan setelah disahkan oleh DPR dalam rapat Paripurna maka naskah UU tersebut menjadi cacat formal.

Lebih jauh, jika naskah UU tersebut mengalami cacat formal maka Mahkamah Konstitusi (MK) bisa membatalkan UU tersebut.

Sebagai Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud pun menceritakan pengalamannya ketika itu pernah membatalkan seluruh Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan.

Waktu itu, kata Mahfud, UU tersebut hanya diuji tiga pasal.

Namun karena formalitasnya salah dan bertentangan dengan konstitusi maka UU tersebut dibatalkan seluruhnya.

"Nah kalau terpaksa juga itu misalnya benar terjadi itu, kan berarti cacat formal. Kalau cacat formal, itu Mahkamah Konstitusi bisa membatalkan," kata Mahfud.

Oleh sebab itu, menurutnya penting bagi DPR untuk menjelaskan kepada masyarakat tentang apa yang terjadi pada naskah UU Omnibus Law Cipta Kerja tersebut setelah disahkan.

"Oleh sebab itu, ini DPR yang haeus menjelaskan itu. DPR yang harus menjelaskan sesudah ketok palu itu apa yang terjadi. Itu kan sudah di luar pemerintah," kata Mahfud.

(Tribunnews.com/ Chrysnha, Fahdi Fahlevi, Vincentius Jyestha, Yanuar Riezqi Yovanda, Gita Irawan)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini