TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat Politik sekaligus Direktur Lingkar Madani Indonesia (LIMA) Ray Rangkuti menilai, pengakuan Ketua Baleg DPR Supratman Andi Agtas soal pasal 46 soal minyak dan gas bumi telah dihapus dari UU Cipta Kerja versi yang telah diserahkan kepada pemerintah, tidak bisa dianggap enteng.
Menurut Ray, penjelasan bahwa memang pasal itu telah dinyatakan dihapus sejak awal tetapi tetap masuk dalam UU yang disahkan justru adalah pokok soalnya.
"Penjelasan itulah pokok soalnya," kata Ray Rangkuti dalam keterangan tertulis kepada Tribunnews, Jumat (23/10/2020).
Ray pun menjelaskan, pertama, mengapa pasal yang sudah dinyatakan dihapus tapi masih bisa masuk di dalam naskah UU yang bahkan disampaikan kepada presiden?
"Bukankah semestinya telah dilakukan penyisiran bahkan jauh sebelum UU ini ditetapkan di rapat paripurna," jelas Ray.
Ia menyebut, setidaknya terdapat tiga kali memontum untuk menyisir dan merapaikan naskah UU yang dimaksud.
Momentum pertama, sinkronisasi naskah RUU paska pembahasan di rapat tingkat satu.
Momentum kedua, saat ada pandangan mini fraksi. Lalu, ketiga saat paripurna berlangsung.
"Jadi dalam tiga fase itu, sejatinya pasal yang disepakati untuk dihapus dengan sendirinya sudah bisa dihapus," tegas Ray.
Baca juga: Pasal 46 UU Cipta Kerja Dihapus, PKS: Seharusnya Cermat Sebelum Diketok di Paripurna
Ray pun mengtakan, penjelasan ketua baleg bahwa pasal itu lupa untuk dihapus adalah pokok soalnya.
"Tentu harus ada pemeriksaan lanjutan. Tidak cukup dengan pernyataan bahwa pasal itu lupa dihapus. Karena itulah pokok soalnya," kata dia.
Ray pun mencontohkan bagaimana permasalah ini juga pernah terjadi dalam keadaan yang hampir sama.
Yakni, terkait ayat tembakau yang ditemukan salah satu ayatnya hilang. Sekalipun ayat yang hilang telah dikembalikan, tapi DPR tetap melakukan pemeriksaan internal.
"Apakah benar ayat itu hilang secara tidak sengaja atau sebaliknya sengaja. BK DPR saat itu tetap melakukan pemeriksaan untuk memastikan bahwa hal itu tidak dilakukan dengan sengaja," jelas Ray.
Berkaca dari pengalaman itu, Ray menilai, sudah semestinya BK DPR juga bertindak sama. Tentunya, segera melakukan pemeriksaan internal untuk memastikan bahwa tidak ada unsur kesengajaan untuk tetap memasukan pasal 46 tentang migas itu ke dalam UU Cipta Kerja.
Ia juga mengatakan, seluruh peristiwa ini memberi sinyal kuat memang ada proses legislasi yang tidak dilakukan dengan cara yang memadai.
Unsur kebut atau cepat berakibat banyak hal yang sejatinya tidak perlu terjadi muncul secara beruntun.
"Sejak dari proses perumusan sampai rapat persetujuan di paripurna, berbagai kealfaan sering mengiringinya. Undang-undang yang diniatkan bagus, tentu saja sudah sepatutnya diproses dengan prinsip bukan saja legal tau juga baik dan bagus," papar Ray.
"Dua prinsip bagus dan baik inilah nampaknya yang tanggal dari proses pembuatan UU Cipta Kerja ini," tutupnya.