News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Pilkada Serentak 2020

Pengamat Prediksi Angka Partisipasi Pemilih di Pilkada Serentak 2020 Tak Sampai 50%

Penulis: Wahyu Gilang Putranto
Editor: Malvyandie Haryadi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

SIMULASI PEMUNGUTAN SUARA - KPU Kota Tangerang Selatan, menggelar simulasi pemungutan suara pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Tangerang Selatan, di lapangan PTPN VIII, Serpong, Sabtu (12/9/2020).

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Partisipasi pemilih dalam Pilkada Serentak 2020 secara nasional dinilai akan sangat rendah jika kesadaran masyarakat tidak dibangkitkan.

Hal itu diungkapkan pengamat politik sekaligus Koordinator Komite Pemilih Indonesia (TePI) Jeirry Sumampow.

"Saya memprediksi angka partisipasi tidak lebih dari 50 persen, kalau kita tidak melakukan treatment untuk membangkitkan kesadaran pemilih untuk datang ke TPS (Tempat Pemungutan Suara)," ungkapnya saat menjadi narasumber dalam program Panggung Demokrasi Tribunnews.com, Rabu (11/11/2020).

Jeirry mengungkapkan sejumlah surveI menunjukkan orang yang memutuskan untuk datang ke TPS tidak lebih dari 40 persen.

Jeirry Sumampow (TRIBUNNEWS.COM/GITA)

Baca juga: Pilkada di Tengah Pandemi, Pengamat: Patuh dan Disiplin Aturan Jadi Kunci Utama

Angka ini, kata Jeirry, relatif sama dengan negara yang mengalami problem partisipasi pemilih dalam pemilu yang diselenggarakan di masa pandemi.

Seperti yang terjadi Prancis dan Iran.

"Kalau tidak ada treatment yang sungguh-sungguh terkait bagaimana membangkitkan optimisme pemilih, angka 40 persen bisa saja menjadi angka partisipasi nasional."

"Mungkin di daerah bisa lebih tinggi, tapi bisa jadi angka rata-rata nasional di angka itu," ungkapnya.

Meski demikian, Jeirry menyebut ada contoh negara yang memiliki partisipasi pemilih tinggi meski pemilu diselenggarakan di masa pandemi.

Baca juga: Mendagri Meresmikan Gerakan 5 Juta Masker di Kepri, JIK: Komitmen Pemerintah Wujudkan Pilkada Sehat

"Kita baru menikmati dan melihat pemilu Amerika dengan jumlah pemilih yang sangat besar bahkan merupakan partisipasi tertinggi dalam sejarah pemilu Amerika."

"Tidak sama memang di satu negara dengan negara yang lain," ungkapnya.

Selain Amerika, Korea Selatan juga mencatatkan angka partisipan yang tinggi.

"Korea selatan yang melaksanakan pilkada di bulan Maret, dan angka partisipasinya merupakan yang tertinggi."

"Jadi ada negara yang tingkat partisipasinya anjlok, ada yang naik bahkan mencatatkan tertinggi dalam sejarah," ungkapnya.

Baca juga: Pilkada Serentak, LDII Ambil Sikap Netral dan Aktif

Metode Pemilihan di Indonesia jadi Masalah

SIMULASI PEMUNGUTAN SUARA - KPU Kota Tangerang Selatan, menggelar simulasi pemungutan suara pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Tangerang Selatan, di lapangan PTPN VIII, Serpong, Sabtu (12/9/2020). (WARTA KOTA/WARTA KOTA/NUR ICHSAN)

Jeirry juga mengungkapkan partisipasi pemilih di Pilkada bisa menjadi rendah lantaran faktor metode pemungutan suara di Indonesia yang terbatas.

"Kita ada sedikit problem karena metode pemilihan yang kita punya hanya satu cara, kita datang ke TPS melakukan pencoblosan," ungkapnya.

"Sedangkan Korsel dan AS juga menggunakan sistem pemilihan online, ada yang pakai pos. Orang tidak harus ke TPS untuk menggunakan hak suaranya," lanjut Jeirry.

Jeirry menyebut pintu metode pemilihan lain selain datang ke TPS sudah tertutup.

"Waktu itu kita minta ada Perppu dari Presiden untuk lebih banyak metode pemilihan, tetapi tidak keluar."

"Waktu itu ada usulan untuk membuat revisi terbatas untuk menampung dan mengakomodir metode agar meningkatkan partisipasi pemilih, tapi tidak ada," ungkapnya.

Baca juga: Undang-undang Kepailitan dan PKPU Harus Dukung Proses Restrukturisasi di Era Pandemi

Jeirry juga menyebut Peraturan KPU terkait pemungutan dan penghitungan suara sudah diujicobakan dan masih menggunkan metode pencoblosan.

"Saya kira problem kita di metodologi."

"Kita tidak bisa memaksa orang datang (ke TPS) saat sakit," ungkapnya.

Jeirry juga menyebut meski aktivitas sosial sudah berjalan, tetapi tidak semua kalangan.

"Kalau kita lihat yang beraktivitas itu orang-orang yang muda, orang di atas 50 tahun sudah lebih takut untuk keluar," ungkapnya.

Meskipun KPU sudah mendesain TPS itu dengan protokol Covid-19 yang ketat, Jeirry menilai hal itu tidak cukup.

"Karena pasti ada orang yang memilih untuk tidak berinteraksi keluar, katakanlah orang yang relatif lebih tua," ungkapnya.

"Yang terpenting sekarang bagaimana menghilangkan ketakutan masyarakat di masa pandemi," imbuh Jeirry.

Baca juga: DKPP Bacakan 5 Putusan Dugaan Pelanggaran Kode Etik Penyelenggaraan Pemilu

Diketahui Pilkada Serentak akan dilaksanakan pada 9 Desember 2020 mendatang.

Guna mencegah terjadinya penularan dan klaster baru Covid-19, telah dikeluarkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 13 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas PKPU Nomor 6 Tahun 2020 Tentang Pelaksanaan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota Serentak Lanjutan Dalam Kondisi Bencana Nonalam Covid-19.

Melalui PKPU tersebut beberapa kegiatan yang berpotensi menimbulkan kerumunan massa tidak diperbolehkan.

Misalnya, kampanye rapat umum, konser, dan lain sebagainya.

Sedangkan yang diperbolehkan hanya pertemuan terbatas yang melibatkan peserta tidak lebih dari 50 (lima) puluh orang.

Artinya, protokol kesehatan itu merupakan upaya untuk mengutamakan keselamatan masyarakat dalam pelaksanaan Pilkada Serentak di tengah pandemi.

(Tribunnews.com/Gilang Putranto)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini