Laporan Wartawan Tribunnews.com, Reynas Abdila
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pembahasan mengenai Rancangan Undang-Undang (RUU) Larangan Minuman Beralkohol kembali mengemuka.
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Pingkan Audrine Kosijungan mengatakan, pemerintah sebaiknya memfokuskan diri pada penegakan hukum dari peraturan yang sudah ada.
Selain penegakan hukum, pemerintah juga seharusnya mampu merumuskan peraturan yang mampu mengakomodir perkembangan dari kehidupan masyarakat.
Menurutnya, peraturan yang ada belum menyentuh penjualan dan pengawasan dari minuman beralkohol yang dijual secara daring.
Pingkan menyebut pemerintah perlu mempertimbangkan aspek ini jika memang tujuan dari pembuatan RUU Minol untuk melengkapi apa yang sudah ada.
Baca juga: RUU Larangan Minuman Beralkohol Kembali Dibahas, Berikut Link Download RUU Ini
"CIPS menilai bahwa klaim-klaim yang ada di dalam RUU tersebut tidak tepat sasaran dengan kondisi yang terjadi di lapangan. Baik Naskah Akademik maupun materi presentasi pembahasan Baleg terkait RUU Minol ini terlampau mengeneralisir permasalahan dan tidak didukung oleh data empiris yang memadai," katanya dalam keterangan kepada wartawan, Kamis (12/11/2020).
"Inisiatif untuk membuat peraturan perlu memperhatikan perkembangan dari objek yang diatur di dalamnya. Sekarang minuman beralkohol tidak hanya dipasarkan secara langsung tetapi juga lewat daring. Transaksi e-commerce tentu memiliki karakteristik yang berbeda dengan transaksi secara langsung," sambungnya.
Dia menilai pemerintah perlu memperhatikan hal ini, seperti soal mekanisme pengawasannya dan mengatur sanksi bagi pelanggar.
Baleg DPR dan Naskah Akademik per tahun 2014 mengklaim landasan perumusan RUU Minol ini setidaknya terdapat empat aspek yang dijadikan justifikasi mengapa RUU ini perlu segera disahkan.
Keempat aspek tersebut ialah perspektif filosofis, sosial, yuridis formal, dan upaya pengembangan hukum.
Fraksi pengusul menekankan bahwa larangan minuman beralkohol hakekatnya amanah konstitusi dan agama.
Poin ini menjadi menarik karena minuman beralkohol merupakan komoditas yang secara legal dapat dikonsumsi dan diperjualbelikan di Indonesia seturut dengan peraturan yang berlaku.
Tidak ada larangan yang secara eksplisit mengatakan bahwa minuman beralkohol bertentangan dengan konstitusi.
Baca juga: Pro Kontra RUU Larangan Minuman Beralkohol dan RUU Ketahanan Keluarga
Peraturan Presiden Nomor 74 Tahun 2013, Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 20 Tahun 2014, Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 72 Tahun 2014 hingga Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 25 Tahun 2019 telah memberikan payung hukum untuk pembatasan dan pengawasan dari minuman beralkohol di Indonesia.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2004 pun juga sudah ditegaskan bahwa minuman beralkohol merupakan komoditas yang diperdagangkan dan berada dalam pengawasan.
"Rasanya kurang tepat jika sebagai negara hukum, Indonesia masih memberlakukan peraturan perundang-undangan yang cenderung mengabaikan aspek pluralitas keagamaan di Indonesia," ujar Pingkan.
Terkait dengan aspek sosial klaim yang disampaikan oleh fraksi pengusul juga tampak mengabaikan situasi empiris.
Pada kenyataannya, konsumsi minuman beralkohol di Indonesia relatif lebih rendah dibandingkan negara lain, dan itu pun masih didominasi oleh minuman beralkohol tidak tercatat atau ilegal.