News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Kasus Nurhadi

Kronologi Penjualan Kebun Kelapa Sawit ke Nurhadi

Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Malvyandie Haryadi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Persidangan Nurhadi di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (25/11/2020) lalu.

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sidang lanjutan kasus suap dan gratifikasi terkait perkara di Mahkamah Agung (MA) kembali bergulir di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jakarta Pusat, Jumat (11/12/2020).

Duduk sebagai terdakwa ialah mantan Sekretaris MA Nurhadi dan menantunya Rezky Herbiyono.

Pada persidangan kali ini, tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghadirkan saksi bernama Amir Wijaya.

Baca juga: KPK: Pejabat Kaya Bukan Jaminan Tak Korupsi

Dalam kesaksiannya, Amir mengungkapkan kronologi penjualan kebun kelapa sawit di Kabupaten Padang Lawas, Sumatera Utara.

Kebun sawit seluas 150 hektare itu hendak dibeli Nurhadi untuk Rezky Herbiyono dan putrinya, Rizqi Aulia Rachmi.

Amir berujar, ia dipertemukan dengan Nurhadi sekitar 1 Juni 2015 di Hotel Aryaduta di Pekanbaru guna membahas penjualan kebun sawit senilai Rp15 miliar tersebut.

"Yang pasti saya tanggal 1 Juni kalau enggak salah di Hotel Aryaduta ketemu Pak Herman Lubis sama Pak Nurhadi, saya masuk kamar Pak Nurhadi tanya, 'Itu harga Rp15 miliar, apa betul?' Kata dia, 'Apa enggak bisa kurang lagi?' Saya bilang tidak, itu murah karena beserta asetnya', kemudian sudah oke, saya pun turun ke lobi," ucap Amir lewat telekonferensi dari Medan, Sumatera Utara.

Baca juga: Hari Antikorupsi Sedunia, KPK Terima Masukan dari Berbagai Elemen Masyarakat

Aset yang dimaksud, jelas Amir, adalah truk dan alat untuk mengurusi kebun kelapa sawit.

"Prinsipnya sudah deal. Kami buat satu kesepakatan ya soal harga sekian dan aset-aset apa, termasuk truk Honda dan lainnya, total Rp15 miliar," jelasnya.

Setelah harga sepakat di angka Rp15 miliar, Amir kemudian terbang ke Jakarta untuk melakukan proses penandatanganan akta jual beli lahan sawit dengan Rezky dan Rizqi.

Nurhadi bersama menantunya Rezky Herbiyono sebelumnya didakwa menerima suap dan gratifikasi senilai total Rp83 miliar terkait dengan pengaturan sejumlah perkara di lingkungan peradilan.

Untuk suap, Nurhadi dan Rezky menerima uang sebesar Rp45.726.955.000 dari Direktur Utama PT Multicon Indrajaya Terminal (MIT) Hiendra Soenjoto. Hiendra sendiri merupakan tersangka KPK dalam kasus yang sama dengan para terdakwa.

Uang Rp45 miliar lebih itu diberikan agar kedua terdakwa mengupayakan pengurusan perkara antara PT MIT melawan PT Kawasan Berikat Nusantara (KBN) terkait dengan gugatan perjanjian sewa-menyewa depo container milik PT KBN seluas 57.330 meter persegi dan 26.800 meter persegi.

Awal mula gugatan, pada 27 Agustus 2010 Hiendra melalui kuasa hukumnya Mahdi Yasin dan rekan mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum ke Pengadilan Negeri Jakarta Utara yang didasarkan pada pemutusan secara sepihak atas perjanjian sewa-menyewa depo container milik PT KBN. Hal itu sebagaimana register perkara nomor: 314/Pdt.G/2010/PN Jkt.Ut.

PN Jakarta Utara mengabulkan gugatan tersebut dan menyatakan bahwa perjanjian sewa-menyewa depo container tetap sah dan mengikat. Serta menghukum PT KBN membayar ganti rugi materiel kepada PT MIT sebesar Rp81.778.334.544.

Tak terima, PT KBN mengajukan banding. Namun lagi-lagi upaya hukum mereka kandas di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.

Namun di tingkat kasasi, MA dalam putusannya nomor 2570 K/Pdt/2012 menyatakan bahwa pemutusan perjanjian sewa-menyewa depo container adalah sah dan menghukum PT MIT membayar ganti rugi sebesar Rp6.805.741.317 secara tunai dan seketika kepada PT KBN.

PT KBN lantas bermohon kepada Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Utara agar dilakukan eksekusi atas putusan yang telah berkekuatan hukum tetap dengan aanmaning/teguran.

Mengetahui akan dieksekusi, Hiendra meminta bantuan kakaknya Hengky Soenjoto untuk dikenalkan dengan advokat Rahmat Santoso yang merupakan adik ipar Nurhadi atau paman Rezky.

Dalam pertemuan di cafe Vin+ Jalan Kemang Raya, Jakarta Selatan, Hiendra meminta Rahmat menjadi kuasanya dalam permohonan PK perkara gugatan dengan PT KBN sekaligus mengurus penangguhan eksekusi.

Satu bulan usai pertemuan, tepatnya tanggal 20 Agustus 2014, Hiendra memberi surat kuasa kepada Rahmat sekaligus memberi uang Rp300 juta dan cek OCBC NISP atas nama PT MIT nomor NNP 218650 sejumlah Rp5 miliar yang bisa dicairkan setelah permohonan PK didaftarkan ke MA. Pada 25 Agustus 2014, Rahmat mendaftarkan permohonan PK dan permohonan penangguhan eksekusi.

Beberapa hari kemudian, tutur Jaksa, Hiendra mencabut kuasa yang telah diberikan dan melarang Rahmat mencairkan cek Rp5 miliar.

Baca juga: Soal Sprindik Palsu ke Menteri BUMN, RNA 98: Waspada Adu Domba KPK-Erick Thohir

"Namun pada kenyataannya Hiendra meminta terdakwa II (Rezky) yang merupakan menantu sekaligus orang kepercayaan terdakwa I (Nurhadi) untuk pengurusan perkara tersebut, padahal diketahui pada saat itu, terdakwa II bukanlah advokat," ucap Jaksa sebagaimana surat dakwaan.

Lebih lanjut, Nurhadi dan Rezky juga didakwa menerima gratifikasi sebesar Rp37.287.000.000. Nurhadi disebut memerintahkan Rezky untuk menerima uang dari para pihak yang memiliki perkara baik di tingkat pertama, banding, kasasi dan peninjauan kembali secara bertahap sejak 2014-2017.

Penerimaan uang di antaranya dari Handoko Sutjitro (Rp2,4 miliar); Renny Susetyo Wardani (Rp2,7 miliar); Donny Gunawan (Rp7 miliar); Freddy Setiawan (Rp23,5 miliar); dan Riadi Waluyo (Rp1.687.000.000).

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini