TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sekretaris Umum Front Pembela Islam Munarman meminta Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) untuk memimpin atau menjadi leading sector dalam mengusut tewasnya enam laskar FPI pengawal Rizieq Shihab.
"Kami meminta kepada Komnas HAM untuk menjadi leading sector untuk mengungkap tragedi pembunuhan dan pembantaian terhadap 6 syuhada anggota Laskar FPI karena merupakan peristiwa pelanggaran HAM berat," kata Munarman dalam keterangan tertulis, Selasa (15/12/2020).
Adapun Komnas HAM saat ini sudah membentuk tim untuk mengusut kebenaran dalam kasus kematian enam laskar FPI ini.
Namun Komnas HAM masih bekerja sendiri dan tak menjadi leading sector.
Baca juga: Resmi Ajukan Praperadilan, Kuasa Hukum akan Konsultasi pada Rizieq Shihab soal Penangguhan Penahanan
Di sisi lain, Bareskrim Polri juga sudah mengusut anggotanya yang melakukan penembakan terhadap enam laskar FPI ini.
Namun, Munarman menegaskan bahwa FPI menolak rekonstruksi yang dilakukan Mabes Polri atas insiden yang terjadi di Karawang, Senin (7/12/2020) dini hari itu.
Dalam rekonstruksi, digambarkan bahwa laskar FPI pengawal Rizieq menyerang polisi yang tengah membuntuti mereka terlebih dahulu dengan senjata api dan senjata tajam.
Dua anggota laskar tewas dalam baku tembak.
Lalu empat lainnya digambarkan berupaya merebut senjata petugas saat sudah diamankan di mobil polisi.
Akibatnya, keempatnya juga ditembak mati.
Namun, Munarman menegaskan polisi berpakaian preman lah yang lebih dulu memepet dan mengadang kendaraan Rizieq.
Ia juga menegaskan laskar FPI tak dibekali senjata.
"Kami menolak penangangan perkara dan rekontruksi atau reka ulang atas tragedi pembunuhan dan pembantaian terhadap 6 syuhada anggota Laskar FPI dilakukan oleh pihak Kepolisian," kata Munarman.
Ia pun mendesak Komnas HAM untuk menjadi leading sector untuk mengungkap kematian 6 anggota laskar FPI ini.
Selain itu, Munarman juga mempermasalahkan penanganan perkara yang dilakukan oleh pihak Kepolisian dengan menggunakan ketentuan Pasal 170 KUHP Jo.
Pasal 1 (1) dan (2) Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 dan atau Pasal 214 KUHP dan atau Pasal 216 KUHP.
Ia menilai penggunaan pasal tersebut tidak tepat karena justru menjadikan 6 anggota Lakskar FPI tersebut sebagai pelaku, bukan korban.
"Lagi pula, secara hukum acara pidana, dengan mengikuti alur logika pihak kepolisian, maka penanganan perkara yang tersangkanya sudah meninggal tidak bisa lagi dijalankan," kata Munarman.
"Janganlah kita bodohi rakyat Indonesia dengan drama komedi yang tidak lucu lagi," sambungnya.