TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Elemen buruh mengaku kecewa lantaran hanya bisa menggelar aksi demontrasi menolak Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja di sekitar area Patung Kuda Arjuna Wiwaha, Jakarta Pusat.
Memang awalnya massa buruh menggelar aksinya untuk mengawal sidang uji materi UU Cipta Kerja di depan Gedung Mahkamah Konstitusi.
Namun, aparat kepolisian hanya memusatkan aksi di Patung Kuda saja.
"Sebetulnya dalam beberapa waktu lalu, kita bisa melakukan aksi unjuk rasa di depan gedung Mahkamah Kontitusi. Bahkan bisa sampai di istana. Tapi dalam beberapa bulan terakhir, setiap aksi selalu dihalang-halangi di tempat ini," kata Ketua Departemen Komunikasi dan Media KSPI Kahar S Cahyo ditemui di lokasi, Rabu (16/12/2020).
Dengan adanya penghalangan ini, menurutnya, akan berdampak kepada citra pemerintah.
"Karena akan ada kesan menjauhkan rakyat yang ingin menyampaikan aspirasinya dengan para pemimpin negara ini," ungkapnya.
Seharusnya, Kahar menyebut, aspirasi-aspirasi yang disampaikan harus ditampung.
"Setiap pendapat, setiap aksi itu bisa ditampung, atau perlu difasilitasi agar bisa menyampaikan aspirasi secara langsung , tapi ini disekat-sekat. Kami menganggap ini menjauhkan rakyat dengan pemimpinnya," tandasnya.
Baca juga: Elemen Buruh Kembali Demo, Tolak UU Cipta Kerja dan Minta Upah Buruh Naik
Sebelumnya, elemen buruh kembali menggelar aksi lanjutan menolak Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja di depan Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta Pusat, Rabu (16/12/2020).
Pantauan Tribunnews di lokasi, massa buruh yang sedianya ingin berdemo di depan gedung MK, ternyata menggelar aksinya di sekitar Patung Kuda Arjuna Wiwaha.
Ada dua sasaran dalam aksi buruh hari ini.
"Yang pertama adalah kita minta UU Cipta Kerja dibatalkan. Yang kedua kita meminta UMSK, upah minimum sektoral kabupaten 2021 bisa diberlakukan," kata Kahar.
Ada banyak sejumlah faktor yang membuat pihaknya meminta UU Ciptaker dibatalkan. Setidaknya, dikatakan Kahar, ada 69 pasal yang diajukan uji materi ke MK.
"Yang pertama masalah pesangon yang dikurangi. Kemudian adalah batasan tentang jenis pekerjaan outsourcing yang dihilangkan. Yang ketiga soal karyawan kontrak yang tidak ada batasan waktu," katanya.
"Kemudian soal penghilangan dari sanksi pidana, kemudian soal jaminan sosial yang kita anggap diskriminatif, soal pemagangan yang kita nilai semakin masif, dan kemudian terkait tenaga asing yang tidak ada lagi izin," kata Kahar.
Kahar menyebut pihaknya juga mengajukan uji formil tentang UU Ciptaker ke MK. Pihaknya pun meminta MK memutuskan perkara tersebut dengan adil.
"Kami melakukan aksi unjuk rasa untuk meminta agar Mahkamah Konstitusi memutuskan perkara ini dengan adil," pungkasnya.