News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Penanganan Covid

Dekan FKUI Prof. Dr. dr. Ari Fahrial Syam: Presiden Disuntik Pertama Agar Masyarakat Yakin

Editor: Choirul Arifin
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

VAKSIN DATANG - Sebanyak 77.760 vaksin Sinovac yang rencananya akan digunakan untuk vaksinasi Covid-19 tiba di Dinas Kesehatan (Dinkes) Jawa Timur disimpan dan dijaga di ruangan dingin Dinkes Jatim yang suhunya 2-3 derajat, Senin (4/1/2020). Dinas Kesehatan Jatim memprioritaskan pemberian vaksin pada Sumber Daya Manusia bidang kesehatan yang bekerja di faskes kesehatan dan dinas kesehatan karena mereka beresiko tinggi tertular seelah melayani orang yang konfirm Covid-19. SURYA/AHMAD ZAIMUL HAQ

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Penyuntikan pertama vaksin Covid-19 bikinan Sinovac kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) dinilai dapat menjadi simbol bahwa vaksin buatan China tersebut aman digunakan.

Menurut Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Prof. Dr. dr. Ari Fahrial Syam, vaksinasi pertama kepada presiden untuk membantah berbagai isu miring soal vaksin Covid-19 Sinovac.

"Dengan kepala negara menjadi orang pertama, ini memberi keyakinan kepada masyarakat khususnya para petugas kesehatan bahwa vaksin yang akan diberikan kepada para petugas kesehatan ini merupakan vaksin yang aman," kata Prof. Ari kepada Tribun, Rabu (6/1/2021).

Pemerintah mengawali tahun 2021 dengan menggelar program vaksinasi nasional. Pemberian vaksin Covid-19 tahap pertama diperuntukkan bagi tenaga kesehatan.

Ada 1,3 juta tenaga kesehatan dan tenaga penunjang di seluruh Indonesia yang akan divaksinasi.

Baca juga: Wagub DKI: Ada Sanksi Denda Rp 5 Juta bagi Warga Ibu Kota yang Menolak Vaksinasi Covid-19

Selain petugas terdaftar, vaksinasi juga diperuntukkan bagi mahasiswa yang sedang menjalani pendidikan profesi kedokteran di fasilitas pelayanan kesehatan.

Vaksinasi tahap awal akan berlangsung pada Januari-April 2021. Kelompok prioritas lain, yaitu petugas pelayanan publik.

Baca juga: Media Asing Soroti Program Vaksinasi Massal Indonesia yang akan Dimulai pada 13 Januari 2021

Kelompok ini mencakup tentara, polisi, aparat hukum, petugas pelayanan publik di fasilitas transportasi umum, petugas PLN, perusahaan air minum, dan pekerja lain yang pelayanan kepada masyarakat. Jumlah yang ditargetkan sebesar 17,4 juta orang.

Namun terdapat sejumlah masalah menjelang vaksinasi tahap awal yang diprioritaskan bagi tenaga kesehatan.

Kementerian Kesehatan, kemarin, menyebut proses pendataan jumlah tenaga kesehatan yang akan menerima imunisasi Covid-19 belum selesai.

Padahal Pemerintah menargetkan program penyuntikan vaksin berlangsung pekan depan. Proses pendataan tenaga kesehatan yang menerima vaksin harusnya rampung pada 3 Januari kemarin.

Selain urusan data, distribusi vaksin untuk petugas medis belum tuntas. Di Sumatera Barat, Pemerintah baru mengirimkan vaksin sebanyak 36.920 dosis.

Jika mengacu pada kebutuhan imunisasi sebanyak dua dosis per orang, vaksinasi baru bisa dilaksanakan terhadap 18.460 tenaga kesehatan. Jumlah itu belum memenuhi kebutuhan vaksinasi bagi 27.365 tenaga kesehatan yang ada Sumatera Barat.

Berikut petikan wawancara lengkap Tribun Network bersama Prof. Dr. dr. Ari Fahrial Syam:

Apa tanggapan Anda kepala negara menjadi orang pertama yang menerima vaksin?

Buat saya tidak ada masalah ketika kepala negara menjadi orang pertama yang menerima vaksin.

Saya rasa poin positifnya adalah dengan kepala negara menjadi orang pertama, ini memberi keyakinan kepada masyarakat khususnya para petugas kesehatan bahwa vaksin yang akan diberikan kepada para petugas kesehatan ini merupakan vaksin yang aman.

Dan juga tentu kita berharap efikasinya juga baik untuk mencegah. Agar kita yang mendapat vaksin ini dapat terbebas dari infeksi Covid-19 ini

Apa urgensi kepala negara harus jadi orang pertama yang menerima vaksin Sinovac?

Kita tahu bahwa banyak kontroversi sehubungan dengan vaksin Sinovac ini. Berbagai macam isu misalnya uji klinik di Indonesia yang belum selesai, baru selesai Maret.

Kalaupun nanti Badan POM akan mengeluarkan emergency use authorization itu basicnya adalah uji klinik di negara lain.

Di satu sisi, ketika uji klinik sudah selesai tentu kita mau melihat publikasinya, seperti pada beberapa vaksin itu sudah mempunyai data yang menyebutkan efikasinya di atas 90 persen. Jadi ini hal yang menjadi perhatian.

Pendataan jumlah tenaga kesehatan yang akan menerima vaksin belum rampung. Padahal pekan depan vaksinasi akan dimulai, bagaimana tanggapan Anda?

Pendataan ini memang menjadi salah satu hal yang jadi PR kita bersama. Mengingatkan bahwa tenaga kesehatan ini bekerja di berbagai macam pelayanan kesehatan.

Karena itu juga, misalnya adanya petugas para dokter maupun nakes yang juga dikerjakan secara sukarela. Misalnya atau menjadi relawan.

Data calon penerima vaksin sangat penting. Apa saran Anda terkait keterlambatan proses pendataan tenaga kesehatan?

Memang pendataan ini menjadi hal yang penting, dan tentu kita berharap bahwa proses ini bisa dikerjakan secara cepat. Sehingga secara bertahap vaksinasi bisa segera dilakukan.

Bagaimana vaksinasi untuk nakes yang bertugas di daerah pedalaman?

Saya rasa ini PR tersendiri khususnya buat pemerintah daerah.

Tapi saya rasa pemerintah daerah mempunyai suatu sistem di mana secara regular mereka pun juga membantu misalnya di dalam pendistribusian sembako selama ini, atau juga mungkin jalur-jalur lain yang digunakan ketika pemerintah daerah ingin memantau aktivitas di dalam suatu daerah di pedalaman.

Jadi menurut saya jalur-jalur itu bisa dipergunakan.

Proses distribusi vaksin ke sejumlah daerah kebanyakan belum tuntas. Dosis vaksin yang tiba tidak cukup untuk jumlah nakes yang ada, mengapa hal demikian terjadi?

Kemudian mengenai proses pendistribusian di berbagai daerah belum tuntas, ini memang menjadi PR tersendiri, karena memang banyak kendala-kendala di dalam proses distribusi vaksin ini. Apalagi jumlahnya sebenarnya sudah mencukupi untuk tahap pertama ini, tapi bicara soal pendataan, kemudian bicara soal proses vaksin ini untuk terdistribusi ini menjadi PR tersendiri.

Sejumlah daerah belum membuat peraturan tentang sanksi bagi masyarakat yang menolak vaksin. Apa saran Anda?

Ini yang saya sampaikan, memang ini satu hal yang mestinya pemerintah pusat dan daerah sejalan. Saya ambil contoh misalnya di DKI akan menggunakan Perda apabila menolak vaksinasi akan didenda Rp 5 juta.

Jadi di sinilah peran koordinasi dari Kementerian Dalam Negeri, bagaimana bisa mengkoordinasikan para kepala daerah agar mempunyai hal yang sama.

Karena tujuannya itu sama, untuk menekan jumlah kasus dan salah satu upayanya dilakukan dengan vaksinasi ini. Jadi ketika akan ada aturan untuk orang-orang yang menolak vaksin, tentu fungsinya juga sama.

Selain sertifikasi halal, apa saran Anda sesudah dan sebelum masyarakat menerima vaksin?

Mengenai sertifikasi halal menurut saya ini juga satu isu yang penting. Tentu harus melibatkan Majelis Ulama Indonesia.

Di situlah peran MUI, bagaimana memberikan klarifikasi atau yang kita bilang bahwa ada rekomendasi dari MUI atau fatwa dari MUI, bahwa vaksin yang akan diberikan kepada masyarakat Indonesia ini halal.

Kemudian apabila sertifikasi halal ini masih dalam tanda petik meragukan, tapi ada istilahnya fatwa darurat yang diberikan sehingga masyarakat menjadi lebih tenang pada saat mendapatkan vaksin ini. Saya rasa ini hal-hal yang menjadi penting untuk diketahui oleh masyarakat.

Pewawancara: Lusius Genik

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini