Laporan wartawan Tribunnews.com, Fahmi Ramadhan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kejaksaan Agung (Kejagung) terus mengusut kasus dugaan korupsi impor gula di Kementerian Perdagangan periode 2015-2016 yang melibatkan Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong.
Terkait kasus ini, Kapuspenkum Kejagung RI, Harli Siregar menjelaskan bahwa pihaknya memeriksa dua orang saksi dimana salah satunya inisial WK selaku eks Deputi Kementerian BUMN.
"Memeriksa dua orang saksi, WK selaku Mantan Deputi Bidang Usaha dan Industri Agro dan Farmasi Kementerian BUMN dan NH selaku Pimpinan KSO Sucofindo Surveyor Indonesia," kata Harli dalam keterangannya, Rabu (4/12/2024).
Kendati demikian Harli tak menjelaskan secara rinci perihal detail materi pemeriksaan yang dilakukan Jaksa penyidik Jampidsus Kejagung terhadap kedua saksi tersebut.
Ia hanya menerangkan bahwa kedua saksi itu diperiksa terkait lanjutan proses penyidikan dalam kasus korupsi impor gula yang menjerat Tom Lembong.
Baca juga: Kebut Penyidikan Kasus Impor Gula Tom Lembong, Kejagung Telah Periksa 30 Saksi dan Tiga Ahli
"Pemeriksaan saksi dilakukan untuk memperkuat pembuktian dan melengkapi pemberkasan dalam perkara dimaksud," pungkasnya.
Untuk diketahui, Tom Lembong menjabat sebagai Menteri Perdagangan Indonesia dari 12 Agustus 2015 hingga 27 Juli 2016.
Dia juga pernah menjabat sebagai Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) di periode pertama Presiden Joko Widodo.
Selain itu, Kejagung juga sudah menetapkan eks Direktur PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) inisial CS dalam perkara yang diduga merugikan negara sebesar Rp400 miliar.
"Kerugian negara akibat perbuatan importasi gula yang tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, negara dirugikan kurang lebih Rp 400 miliar," ucap Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung Abdul Qohar dalam jumpa pers di kantornya, Jakarta Selatan, Selasa (29/10/2024) malam.
Dijelaskan Abdul Qohar, Tom Lembong diduga memberikan izin kepada PT AP untuk mengimpor gula kristal mentah sebesar 105.000 ton pada 2015.
Padahal, saat itu Indonesia sedang surplus gula sehingga tidak membutuhkan impor.
"Akan tetapi di tahun yang sama, yaitu tahun 2015 tersebut, menteri perdagangan yaitu Saudara TTL memberikan izin persetujuan impor gula kristal mentah sebanyak 105.000 ton kepada PT AP yang kemudian gula kristal mentah tersebut diolah menjadi gula kristal putih," kata Qohar.
Selain itu, Qohar menyatakan, impor gula yang dilakukan PT AP tidak melalui rapat koordinasi (rakor) dengan instansi terkait serta tanpa adanya rekomendasi dari kementerian-kementerian guna mengetahui kebutuhan riil.
Tak hanya itu, perusahaan yang dapat mengimpor gula seharusnya hanya BUMN.
Sementara itu, CS diduga mengizinkan delapan perusahaan swasta untuk mengimpor gula. PT PPI kemudian seolah membeli gula tersebut.
Padahal, delapan perusahaan itu telah menjual gula ke pasaran dengan harga Rp 16.000 per kilogram atau lebih mahal dibandingkan Harga Eceran Tertinggi (HET) saat itu Rp 13.000 per kilogram. CS diduga menerima fee dari delapan perusahaan itu.
"Dari pengadaan dan penjualan gula kristal mentah yang telah diolah jadi gula kristal putih PT PPI dapat fee dari delapan perusahan yang impor dan mengelola gula tadi sebesar Rp 105 per kilogram," ujar Qohar.