TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pesawat Sriwijaya Air SJ-182 yang jatuh di perairan Kepulauan Seribu sudah berusia 26 tahun.
Sebelum digunakan maskapai Sriwijaya Air, pesawat jenis Boeing 737-500 tersebut pernah digunakan maskapai Amerika Serikat.
Sriwijaya Air bernomor penerbangan SJ atau lengkapnya SJ-182 memiliki nomor registrasi PK-CLC.
Nomor produksi pesawat tersebut adalah 27323.
Pesawat ini berusia 26 tahun dengan konfigurasi kelas ekonomi 112 penumpang.
Uji terbang pertama kali dilakukan pada 13 Mei 1994 dan digunakan pertama oleh maskapai Amerika Serikat, Continental Airlines pada 1994 dan Unites Airlines pada 2010.
Baca juga: Ditangisi Keluarga Dikira Jatuh Bersama Sriwijaya Air, Yulius Ternyata Selamat Sampai Pontianak
Sementara Sriwijaya Air menggunakan pesawat ini sejak tahun 2021 atau sudah selama 8 tahun.
Sebelum mengalami kecelakaan di perairan Kepulauan Seribu, Sabtu (9/1/2021) pesawat Sriwijaya Air SJ-182 sempat tidak beroperasi selama hampir sembilan bulan.
Juru Bicara Kementerian Perhubungan Adita Irawati memastikan pesawat Sriwijaya Air SJ-182 jenis B737-500 memiliki Certificate of Airworthiness (Sertifikat Kelaikudaraan) yang berlaku sampai dengan 17 Desember 2021.
“Ditjen Perhubungan Udara telah melakukan pengawasan rutin sesuai dengan program pengawasan dalam rangka perpanjangan sertifikat pengoperasian pesawat (AOC) Sriwijaya Air pada bulan November 2020. Hasilnya Sriwijaya Air telah memenuhi ketentuan yang ditetapkan,” kata Adita, Senin (11/1/2021).
Baca juga: Penyelam POSSI Punya Teknik Khusus Bantu Evakuasi Pesawat Sriwijaya Air SJ-182
Dirjen Perhubungan Udara Novie Riyanto menjelaskan, pengawasan yang dilakukan pihaknya meliputi pemeriksaan dari semua maskapai yang diparkir atau tidak dioperasikan.
Hal itu untuk memastikan pesawat tersebut masuk ke dalam program penyimpanan dan perawatan pesawat.
Berdasarkan data yang ada, Pesawat Sriwijaya Air SJ-182 masuk hanggar pada 23 Maret 2020 dan tidak beroperasi sampai dengan bulan Desember 2020.
Kemudian, Ditjen Perhubungan Udara telah melakukan inspeksi pada 14 Desember 2020.
Selanjutnya, pada 19 Desember 2020, pesawat mulai beroperasi kembali tanpa penumpang/No Commercial Flight, dan pada tanggal 22 Desember 2020, pesawat beroperasi kembali dengan penumpang/Commercial Flight.
Kemenhub telah menindaklanjuti Perintah Kelaikudaraan (Airworthiness Directive) yang diterbitkan oleh Federal Aviation Administration (FAA)/ regulator penerbangan sipil di Amerika Serikat, dengan menerbitkan Perintah Kelaikudaraan pada tanggal 24 Juli 2020.
Baca juga: Pesawat Sriwijaya SJ 182 Diduga Menghujam Laut dengan Kecepatan Tinggi hingga Hancur Tak Berbentuk
“Perintah Kelaikudaraan tersebut mewajibkan operator yang mengoperasikan pesawat jenis Boeing 737-300/400/500 dan B737-800/900 untuk melakukan pemeriksaan engine sebelum dapat diterbangkan,” kata Novie Riyanto.
Ditjen Perhubungan Udara melakukan pemeriksaan untuk memastikan pelaksanaan Perintah Kelaikudaraan tersebut telah dilakukan pada semua pesawat sebelum dioperasikan kembali.
Sebelum terbang kembali, telah dilaksanakan pemeriksaan korosi pada kompresor tingkat 5 (valve 5 stages engine due corrosion) pada 2 Desember 2020, yang dilakukan oleh inspektur kelaikudaraan Ditjen Perhubungan Udara.
Tidak meledak di udara
KNKT hingga kini terus mengumpulkan data terkait kecelakaan pesawat Sriwijaya Air SJ-182 rute Jakarta-Pontianak tersebut.
Kepala KNKT Soerjanto Tjahjono mengatakan, pihaknya pun sudah mengumpulkan data pemantauan radar Automatic Dependent Surveillance-Boradcast (ADS-B) dari Perum LPPNPI (Airnav Indonesia).
"Dari data tersebut, tercatat pesawat mengudara pada pukul 14.36 WIB, terbang menuju arah barat laut dan pada pukul 14.40 WIB, pesawat mencapai ketinggian 10.900 kaki," kata Soerjanto dalam keterangan tertulisnya, Selasa (12/1/2021).
Soerjanto mengatakan, tercatat pesawat mulai turun dan data terakhir pesawat pada ketinggian 250 kaki.
Terekamnya data sampai dengan 250 kaki, lanjut Soerjanto, mengindikasikan bahwa sistem pesawat masih berfungsi dan mampu mengirim data.
Baca juga: Tim Penyelam KRI Tenggiri Bawa 6 Kantong Berisi Bagian Tubuh dan Barang Penumpang Sriwijaya Air
"Dari data ini kami menduga bahwa mesin dalam kondisi hidup sebelum pesawat membentur air," katanya.
Data lapangan lain yang didapat KNKT dan KRI Rigel adalah sebaran wreckage memiliki besaran dengan lebar 100 meter dan panjang 300-400 meter.
"Luas sebaran ini konsisten dengan dugaan bahwa pesawat tidak mengalami ledakan sebelum membentur air," ujar Soerjanto.
Temuan bagian pesawat yang telah dikumpulkan oleh Basarnas, salah satunya adalah bagian mesin, yaitu turbine disc dengan fan blade yang mengalami kerusakan.
"Kerusakan pada fan blade menunjukan bahwa kondisi mesin masih bekerja saat mengalami benturan. Hal ini sejalan dengan dugaan sistem pesawat masih berfungsi sampai dengan pesawat pada ketinggian 250 kaki," jelas Soerjanto.
Sebelumnya, pesawat Sriwijaya Air SJY-182 dengan rute Jakarta-Pontianak hilang kontak pada Sabtu (9/1/2021) sore.
Pesawat tersebut hilang kontak dengan menara pengawas terjadi pada Sabtu sore, pukul 14.40 WIB dan jatuh di perairan sekitar Pulau Laki, Kabupaten Kepulauan Seribu.
Pesawat tersebut diawaki 6 awak aktif.
Adapun rincian penumpang dalam penerbangan SJ-182 adalah 40 dewasa, 7 anak-anak, 3 bayi dan 6 awak sebagai penumpang.
Usia pesawat tak ada hubungan dengan laik terbang
Pengamat Penerbangan Alvin Lie menegaskan usia pesawat tidak ada kaitannya dengan laik terbangnya sebuah pesawat.
"Pesawat usia 26 tahun itu bukan masalah, usia pesawat itu tidak ada kaitannya dengan kelaik udaraan atau safety," ujar Alvin Lie kepada Tribunnews, Minggu (10/1/2021) siang.
Menurutnya, pesawat yang masih baru pun bisa saja mengalami kecelakaan, begitu pula pesawat tua berusia 50 tahun yang masih laik terbang.
"Pesawat yang usianya 3 bulan saja bisa mengalami kecelakaan. Pesawat yang usianya 50 tahun juga tetap laik terbang, tetap aman," jelas Alvin.
Baca juga: Pesawat Sriwijaya Air SJY182 yang Jatuh Sudah Berumur 26,7 Tahun, Dioperasikan Sejak 2012
Alvin menjelaskan, usia pesawat sebenarnya berkaitan dengan efisiensi dan ini juga bisa dilihat dari komponen serta desainnya.
"Usia pesawat itu korelasinya dengan efisiensi," kata Alvin.
Baca juga: Kisah Rombongan Selamat dari Maut, Gagal Terbang Naik Sriwijaya Air Lantaran Tak Bawa Bukti Tes PCR
Yang membedakannya adalah desain pesawat, karena pesawat tua menggunakan desain struktur dengan teknologi yang dipakai sejak puluhan tahun lalu.
Baca juga: Kisah Rachmawati, Qariah Internasional yang Terhindar dari Kecelakaan Sriwijaya Air SJY 182
"Karena desain yang lama mungkin desain sayapnya, desain strukturnya itu masih menggunakan teknologi puluhan tahun yang lalu," papar Alvin.
Ini yang membuat drag atau hambatan pada penerbangan menjadi lebih besar, karena bahan untuk pembuatan pesawat tersebut masih menggunakan alumunium.
Sedangkan pesawat yang didesain untuk generasi baru umumnya telah menggunakan material komposit.
"Sehingga drag pada sayap (membuat) efisiensinya kurang, ujung-ujungnya juga bobot pesawat itu lebih berat. Karena bahannya juga menggunakan alumunium dulu, sekarang menggunakan komposit," tutur Alvin.
Alvin menambahkan, dengan drag yang lebih besar dan berat pesawat yang lebih besar, efisiensinya menurun karena membutuhkan bahan bakar yang lebih banyak.
"Demikian juga desain mesin yang modern, ini lebih hemat bahan bakar, lebih senyap, lebih ramah lingkungan," tegas Alvin.
Ia kembali menegaskan bahwa usia pesawat tidak ada kaitannya dengan sisi keselamatan.
"Tapi usia pesawat tidak ada kaitannya dengan keselamatan, jadi tolong dicatat, tidak ada korelasi usia pesawat dengan keselamatan," pungkas Alvin Lie.
(Tribunnews.com/ tribunjakarta.com/ kompas.tv/ fitri wulandari/ Gerald Leonardo Agustino/ Dea Davina)