TRIBUNNEWS.COM - Mantan Senior Investigator Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT), Frans Wenas ikut merespons soal jatuhnya pesawat Sriwijaya Air SJ 182 pada Sabtu (9/11/2021) lalu.
Wenas, yang turut menjadi investigator jatuhnya pesawat Adam Air 574 pada Januari 2007 lalu itu menanggapi dugaan seringnya kecelakaan pesawat di awal tahun.
Ia mengungkapkan, kecelakaan pesawat sebenarnya bisa terjadi setiap waktu.
Namun, terkait dengan seringnya kecelakaan di awal tahun, ia menduga karena adanya faktor cuaca.
Baca juga: UPDATE Pencarian Korban Sriwijaya Air: Total 74 Kantong Jenazah Terkumpul, 1 Korban Teridentifikasi
"Analisis kecelakaan bisa setiap waktu, jadi kalau dikaitkan dengan bulan Januari kemungkinan besar dengan cuaca yang tidak bersahabat," kata Wenas, dikutip dari tayangan Youtube Kompas TV, Selasa (12/1/2021).
Wenas juga menyebut, faktor cuaca memang menjadi hal yang penting di dunia penerbangan.
Dalam analisisnya, ia mengatakan, kecelakaan Sriwijaya Air SJ 182 ini memiliki kemiripan dengan kecelakaan Adam Air 574 pada 2007 lalu.
"Kita membagi antara data dan fakta, dalam kecelakaan ini kita sudah punya fakta pesawat itu turun tajam masuk ke laut."
"Kita juga punya fakta, Emergency Locator Transmitter (ELT) tidak berfungsi, jadi kecelakaan ini bisa dikatakan mirip (dengan Adam Air)" ujarnya.
Kendati demikian, ia belum bisa memastikan penyebab kecelakaan pesawat lantaran perlu investigasi lebih lanjut.
Namun, dari fakta radar yang ada, ia menduga pesawat Sriwijaya Air SJ 182 menghadapi keadaan yang tidak biasa.
Baca juga: Okky Bisma Korban Meninggal Pertama Sriwijaya Air SJ-182 yang Teridentifikasi Lewat Sidik Jari
Bisa jadi karena faktor cuaca, sehingga pesawat bermaksud menghindari keadaan yang tidak biasa itu.
"Yang saya mau katakan adalah penerbangan awalnya normal, kemudian menghadapi keadaan yang tidak biasa dan bermaksud untuk menghindar."
"Dari data radar, dia memang menghadapi suatu kondisi cuaca."
"Memang kalau sudah kondisi seperti itu, maka pilot harus mengambil keputusan apakah menghindar atau bisa tembus," ujar Wenas.
Ia juga menyampaikan, keputusan untuk mengindar maupun menembus cuaca buruk merupakan keputusan subjektif dari pilot.
Juga, setiap perubahan penerbangan seharusnya dilaporkan kepada petugas pemandu lalu lintas udara atau Air Traffic Controller (ATC).
Kecuali, jika komunikasi tersebut tidak sempat terjadi karena kondisi darurat.
"Kalau komunikasinya tidak sempat, kita harus mencoba menganalisa kenapa tidak ada komunikasi yang normal," ungkap Wenas.
Baca juga: Suaminya Jadi Korban Sriwijaya Air SJ 182, sang Istri Ungkap Pesan Terakhir: Jaga Kesehatan Ya Bu
"Meskipun komunikasi tidak jelas, radar bisa mendeteksi gerakan pesawat selama kodenya sama," tambahnya.
Wenas menduga, kode yang didapat dari radar penerbangan, Sriwijaya Air ini tidak mengalami kelainan dari faktor luar seperti adanya terorisme.
Ia menyebut, kru pesawat diduga mengalami kondisi darurat yang mengharuskan mengindar dari badai petir (thunderstorm) atau memasukinya.
"Dikejadian ini, kode itu tetap dipakai dengan kita dapat asumsi bahwa tidak terjadi kelainan dari luar, dalam arti ada terorisme."
"Jadi kita beranggapan kondisi saat itu masih normal, cuma kemungkinan besar kru mengambil keputusan untuk masuk atau tidak masuk ke thunderstorm," jelas Wenas.
Namun sekali lagi, menurut analisisnya, kesimpulan penyebab kecelakaan masih belum bisa dipastikan karena harus melalui tahap investigasi yang cukup panjang.
Baca juga: Kemenhub Pastikan Pesawat Sriwijaya Air SJ 182 dalam Kondisi Laik Udara Sebelum Terbang
Terlebih harus menganalisis FDR (flight data recorder) dan CVR (cockpit voice recorder) dari kotak hitam atau black box pesawat bila sudah ditemukan.
"Kemungkinan banyak, makanya kita masuk ke fase investigasi nanti kalau FDR dan CVR sudah ketemu."
"Tapi speed flight cukup tajam dan kecepatan cukup tinggi, kita bisa berasumsi pesawat itu sudah all out control," ujarnya.
Seperti diketahui, kecelakaan pesawat di awal tahun memang sering terjadi di Indonesia.
Pada 16 Januari 2002, Penerbangan Garuda Indonesia GA421 dengan rute Lombok-Yogyakarta mengalami kecelakaan.
Burung besi yang membawa 54 penumpang dan 6 awak pesawat ini melakukan pendaratan darurat.
Dari total 60 orang yang ada di pesawat, satu awak kabin tewas, 12 penumpang mengalami luka fatal, serta 10 penumpang mengalami luka ringan.
Baca juga: Insiden Pesawat Sriwijaya Air SJ-182, Wakil Ketua MPR Ingatkan Masyarakat untuk Kedepankan Empati
Kemudian, pada 1 Januari 2007, pesawat Adam Air dengan nomor penerbangan KI 574 dengan rute Surabaya-Manado jatuh di Selat Makassar.
Kecelakaan ini menewaskan seluruh orang di dalamnya yang berjumlah 102 orang, terdiri dari 96 penumpang dan 6 awak.
Terakhir, pada 28 Desember 2014, pesawat Air Asia QZ8501 jatuh di wilayah perairan Selat Karimata yang hendak terbang dari Bandara Juanda, Surabaya ke Bandara Changi, Singapura.
Pesawat tersebut mengangkut 155 penumpang dan 7 orang kru di dalam pesawat dengan total 162 orang dinyatakan tewas.
(Tribunnews.com/Maliana)