Menurut Ribka, vaksin tidak boleh dipaksakan kepada masyarakat.
"Kalau dipaksakan pelanggaran HAM (Hak Asasi Masyarakat). Nggak boleh," ujarnya.
Ribka juga mempertanyakan rencana vaksinasi gratis oleh pemerintah yang dinilainya tidak jelas.
Sebab, dari keempat vaksin semuanya ada harganya.
"Harganya kan macam-macam. Buat orang miskin pasti dikasih yang paling murah," katanya dengan suara keras.
Baca juga: Menteri Kesehatan dan Menkominfo Teken SKB Satu Data Vaksinasi Covid-19
Jangan ragu
Untuk diketahui, tingkat efikasi atau kemanjuran vaksin CoronaVac buatan Sinovac sebesar 65,3 persen memunculkan keraguan dan kekhawatiran di sebagian kecil masyarakat.
Untuk menjawab kekhawatiran itu, pemerintah meminta masyarakat selalu mencari sumber informasi yang sahih, kredibel dan akurat, yang berasal dari sumber resmi dan terpercaya.
Guru Besar Fakultas Farmasi Universitas Gajah Mada Prof. Zullies Ikawati, Ph.D, Pharm meminta masyarakat tidak khawatir dengan angka efikasi vaksin CoronaVac buatan Sinovac yang setinggi 65,3%,
"Kekuatiran tentang kejadian antibody-dependent enhancement (ADE) seperti yang banyak disebut di beberapa media sosial dan menjadi ketakutan banyak orang tidak terjadi pada uji klinik vaksin Covid-19 buatan Sinovac di Indonesia, Turki, maupun Brazil," ujarnya dalam keterangan tertulis seperti dilansir kontan.co.id.
Pertanyaan yang banyak muncul adalah, kenapa efikasinya lebih rendah daripada Turki yang 91,25 persen atau Brazil yang 78 persen? Kenapa lebih rendah dari vaksin besutan Pfizer dan Moderna yang ada di kisaran 90%?
Berikut penjelasan Prof. Zullies Ikawati, Ph.D, Pharm. Karena sedikit teknis, mari kita simak dengan seksama.
Bagaimana Cara Menghitung Tingkat Kemanjuran?
Vaksin dengan efikasi atau kemanjuran 65,3% dalam uji klinik berarti terjadi penurunan 65,3% kasus penyakit pada kelompok yang divaksinasi dibandingkan dengan kelompok yang tidak divaksinasi (atau plasebo)
Dan itu didapatkan dalam suatu uji klinik yang kondisinya terkontrol. Jadi misalnya pada uji klinik Sinovac di Bandung yang melibatkan 1600 orang, terdapat 800 subyek yang menerima vaksin, dan 800 subyek yang mendapatkan placebo (vaksin kosong).
Jika dari kelompok yang divaksin ada 26 yang terinfeksi (3.25%), sedangkan dari kelompok placebo ada 75 orang yang kena Covid (9.4%), maka efikasi dari vaksin adalah = (0.094 – 0.0325)/0.094 x 100% = 65.3%.
Jadi yang menentukan adalah perbandingan antara kelompok yang divaksin dengan kelompok yang tidak.
Efikasi ini akan dipengaruhi dari karakteristik subyek ujinya. Jika subyek ujinya adalah kelompok risiko tinggi, maka kemungkinan kelompok placebo akan lebih banyak yang terpapar, sehingga perhitungan efikasinya menjadi meningkat.
Jadi misalnya pada kelompok vaksin ada 26 yang terinfeksi, sedangkan kelompok placebo bertambah menjadi 120 yg terinfeksi, maka efikasinya meningkat menjadi 78.3%.
Uji klinik di Brazil menggunakan kelompok berisiko tinggi yaitu tenaga Kesehatan, sehingga efikasinya diperoleh lebih tinggi. Sedangkan di Indonesia menggunakan populasi masyarakat umum yang risikonya lebih kecil.
Jika subyek ujinya berisiko rendah, apalagi taat dengan prokes, tidak pernah keluar rumah sehingga tidak banyak yg terinfeksi, maka perbandingan kejadian infeksi antara kelompok placebo dengan kelompok vaksin menjadi lebih rendah, dan menghasilkan angka yang lebih rendah.
Katakanlah misal pada kelompok vaksin ada 26 yg terinfeksi COVID (3,25%) sedangkan di kelompok placebo cuma 40 orang (5%) karena menjaga prokes dengan ketat, maka efikasi vaksin bisa turun menjadi hanya 35%, yaitu dari hitungan (5 - 3,25)/5 x 100% = 35%.
Jadi angka efikasi ini bukan harga mati, dan dapat dipengaruhi oleh banyak faktor ketika uji klinik dilakukan.
Selain itu, jumlah subyek uji dan lama pengamatan juga dapat memperngaruhi hasil. Jika pengamatan diperpanjang menjadi 1 tahun, sangat mungkin menghasilkan angka efikasi vaksin yang berbeda.
Apakah Berdampak Signifikan?
Penurunan kejadian infeksi sebesar 65%-an secara populasi tentu akan sangat bermakna dan memiliki dampak ikutan yang panjang.
Katakanlah dari 100 juta penduduk Indonesia, jika tanpa vaksinasi ada 8,6 juta yang bisa terinfeksi, jika turun 65% dengan vaksinasi, maka hanya 3 juta penduduk yang terinfeksi, selisih 5,6 juta. Dapat dihitung (0.086 – 0.03)/0.086 x 100% = 65%.
Baca Juga: 593 Nakes Meninggal, Menkes Budi Antisipasi Kekurangan Dokter dan Perawat
Jadi ada 5,6 juta kejadian infeksi yang dapat dicegah. Mencegah 5 jutaan kejadian infeksi tentu sudah sangat bermakna dalam penyediaan fasilitas perawatan kesehatan.
Belum lagi secara tidak langsung bisa mencegah penularan lebih jauh bagi orang-orang yang tidak mendapatkan vaksin, yaitu jika dapat mencapai kekebalan komunal atau herd immunity.
Jadi, saya pribadi masih menaruh harapan kepada vaksinasi, semoga bisa mengurangi angka kejadian infeksi COVID di negara kita.
Apalagi jika didukung dengan pemenuhan protokol kesehatan yang baik, semoga dapat menuju pada pengakhiran pandemi COVID di Indonesia.
Awal Yang Baik
Ketika kemarin (11/01/2021) diumumkan hasil efikasi vaksin Sinovac sebesar 65.3%, mungkin ada yang kecewa, kenapa kok rendah. Tapi menurut dia “it is a good start,” apalagi batasan minimal FDA, WHO dan EMA pun utk persetujuan suatu vaksin adalah 50%.
Artinya, secara epidemiologi, menurunkan kejadian infeksi sebesar 50% itu sudah sangat berarti dan menyelamatkan hidup banyak orang.
Apalagi disampaikan juga tadi bahwa vaksin memiliki imunogenisitas yang tinggi dengan angka seropositive mencapai 99,23 % pada 3 bulan pertama, yang berarti dapat memicu antibody pada subyek yang mendapat vaksin.
Tentu masyarakat masih harus menunggu efektivitas vaksin setelah dipakai di masyarakat.
Dan perlu diingat bahwa karena ini baru EUA yg berasal dari interim report, pengamatan terhadap efikasi dan safety masih tetap dilakukan sampai 6 bulan ke depan untuk mendapatkan full approval.
(Tribunnews.com/Chaerul Umam, Kompas TV/Kontan.co.id)