TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengadilan Tipikor Jakarta menggelar sidang lanjutan perkara suap penghapusan red notice Interpol Djoko Tjandra, dengan terdakwa eks Kepala Divisi Hubungan Internasional (Kadiv Hubinter) Polri Irjen Napoleon Bonaparte, pada Senin (1/2/2021).
Kubu Irjen Pol Napoleon menghadirkan saksi ahli a de charge atau saksi yang meringankan, yaitu Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, Profesor Doktor Basuki.
Dalam persidangan, kuasa hukum Napoleon, Gunawan Raka bertanya perihal kewenangan baik itu penghapusan, dan pendaftaran cekal seseorang (DPO) di Direktorat Jenderal Keimigrasian.
"Red notice dijelaskan hanya membantu, yang berhak menghapus mendaftarkan di imigrasi yang punya kewenangan itu siapa?," tanya Gunawan.
Kemudian ahli menjawab bahwa berdasarkan Undang - Undang Keimigrasian, pihak yang berwenang melakukan pencekalan adalah Menteri Hukum dan HAM.
"Jelas di Undang - Undang Keimigrasian, yang punya kewenangan cekal itu adalah Menteri Hukum dan HAM," kata Basuki.
Lalu Gunawan kembali meminta penegasan kepada ahli soal pernyataan Kementerian Hukum dan HAM yang memang punya wewenang memasukkan nama, menghapus nama seseorang dari daftar DPO.
Baca juga: Polisi Disebut Sedang Usut Tindak Pidana Pencucian Uang Irjen Napoleon Bonaparte
"Dia berhak menghapus, memasukan nama, mendelete dan sebagainya di bawah Kementerian Hukum dan HAM?," tanya kuasa hukum lagi.
"Betul," singkat ahli menegaskan.
Diketahui Mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional (Kadiv Hubinter) Polri Irjen Pol Napoleon Bonaparte didakwa menerima suap sebesar 200 ribu dolar Singapura dan 270 ribu dolar AS dari Djoko Tjandra.
Duit tersebut diterima lewat perantara Tommy Sumardi. Uang tersebut diberikan oleh Djoko Tjandra agar namanya dihapus dari daftar DPO atau red notice.
Napoleon didakwa menerima duit itu bersama-sama Brigjen Pol Prasetijo Utomo. Adapun, Prasetijo menerima 150 ribu dolar AS.