TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Boy Rafli Amar angkat bicara perihal polemik penerbitan Peraturan Presiden Nomor 7 tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme berbasis Kekerasan yang mengarah pada Terorisme (RAN PE) tahun 2020-2024.
Regulasi tersebut sempat menuai kritik lantaran berbenturan dengan Undang-Undang (UU) Nomor 15 Tahun 2003 sebagaimana yang telah diubah dengan UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme.
Menurut Boy Rafli, peraturan tersebut sengaja diterbitkan presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam rangka pencegahan ekstremisme di Indonesia. Regulasi tersebut mengedepankan aturan pencegahan radikalisasi nasional.
"Jadi ini sangat fokus intinya adalah terorisme merupakan sebuah kejahatan yang mengedepankan kekerasan atau kejahatan extraordinary. Bersifat transnasional. Karena korban dari kejahatan terorisme ini tidak mengenal usia tidak mengenal etnis tertentu tetapi siapa saja. Kita semua dimuka bumi di dunia ini hari ini sangat berpotensi menjadi korban kejahatan terorisme," kata Boy dalam diskusi daring, Jumat (5/2/2021).
Boy Rafli menerangkan Perpres tersebut juga merupakan kebijakan nasional yang berisikan upaya sistematis perlindungan negara terhadap seluruh warganya dari ancaman kejahatan tindak pidana terorisme.
Dijelaskan Boy Rafli, langkah pencegahan ini tentunya dengan memaksimalkan tindakan yang bersifat lunak. Dengan kata lain, penindakan dapat dilakukan dengan mengedepankan pencegahan.
Baca juga: Dengan Perpres RI No 7 Tahun 2021 Tanggulangi Terorisme, BNPT Libatkan Seluruh Pemangku Kepentingan
"Di dalam Perpres ini hal-hal yang mengarah kepada langkah-langkah pencegahan, langkah-langkah koordinasi, langkah-langkah peningkatan kapasitas di antara pemangku kepentingan. Kemudian mengedepankan partnership atau kemitraan baik itu dengan civil society yang ada di dalam luar negeri ataupun dalam negeri," tukasnya.
Diberitakan sebelumnya, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) DPR RI melalui Wakil Ketua Fraksi Bidang Polhukam Sukamta mempertanyakan apa motif Presiden Jokowi melahirkan Perpres Nomor 7 Tahun 2021.
Perpres yang ingin melibatkan masyarakat dalam pelaporan terhadap permasalahan ekstrimisme di lingkungan sekitar ini mendapatkan kritikan beragam dari berbagai pihak, satu di antaranya F-PKS DPR RI.
Fraksi PKS DPR RI memberikan beberapa catatan kritis terkait Perpres Nomor 7 Tahun 2021.
“Apa motif pemerintah melahirkan Perpres esktrimisme ini? Padahal sudah ada UU Terorisme yang dipergunakan untuk memberantas teroris. Apakah perpres ini benar-benar menyasar pencegahan tindakan terorisme atau punya motif lain. Ini yang menjadi catatan pertama dari F-PKS DPR RI,” ujar Sukamta, kepada wartawan, Kamis (21/1/2021).
Catatan kedua dari F-PKS yakni mengenai multitafsir ekstrimisme.
Sukamta menjelaskan tafsir ekstrimisme versi pemerintah ini berbahaya bagi keadilan hukum dan iklim demokrasi.
Pemerintah dinilai membuat tafsir sendiri mengenai ekstrimisme yang tidak jelas bentuk dan ukurannya, sehingga dalam tataran teknis menjadi multitafsir.
Dia mencontohkan ada laporan dari masyarakat tentang kejadian ekstremisme kepada kepolisian terhadap orang atau kelompok dengan keyakinan tertentu yang dianggap mendukung ekstrimisme kekerasan, nantinya polisi pun akan mentafsirkan laporan secara subjektif.
“Kalau pemerintah serius mau memberantas terorisme maka pergunakan Undang-Undang Terorisme. Selama ini UU Terorisme hanya dipergunakan untuk mengadili pelaku teroris dengan baju agama Islam. Sedangkan kelompok pemberontak, makar di Papua tak pernah ditangani layaknya kasus terorisme namun hanya ditangani seperti kelompok kriminal bersenjata biasa,” kata dia.
Anggota DPR RI Dapil DI Yogyakarta ini kemudian memberikan sebuah hipotesis tentang tujuan dilahirkannya Perpres ini.
“Kita sebagai bagian yang sedang di luar pemerintah yang punya agenda, mudah saja kelak membuktikan apa tujuan lahirnya perpres ini. Jika KKB Papua tidak ditangani selayaknya kasus terorisme, kemudian pemerintah menangani kasus ekstrimisme lain yang level ekstrimnya masih di bawah KKB Papua maka perpes ini memang bertujuan untuk menekan kelompok ekstrimis sesuai tafsir pemerintah bukan benar-benar bertujuan memberantas ektrimisme kekerasan mengarah ke terorisme," jelasnya.
Sementara itu, anggota Komisi I DPR RI itu menegaskan PKS secara jelas menentang ektrimisme, kekerasan dan teroris.
Menurutnya, PKS sebagai partai Islam rahmatan lil 'alamien, mendorong pemahaman dan tindakan yang tawasuth atau moderat, pertengahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Oleh karena itu, PKS menentang ekstremisme dalam semua bentuknya yang dilakukan oleh siapapun baik kelompok masyarakat maupun penyelenggara negara.
PKS juga menginginkan penanganan ekstrimisme dilakukan dengan cara-cara yang baik bukan dengan cara ekstrim.
"Jika cara cara ekstrim dipakai saya khawatir justru lebih banyak madharatnya daripada manfaatnya. Dengan pelibatan masyarakat secara masif sampai grassroot, yakni dengan mendorong masyarakat membuat laporan, saya kok khawatir justru ini akan membuat masyarakat makin terbelah. Akan muncul di tengah- tengah masyarakat sikap saling curiga dan saling menuding. Keterbelahan masyarakat yang bhineka dan majemuk ini akan berbahaya," kata Sukamta.
Lebih lanjut, PKS mengharapkan pemerintah seharusnya mendorong persatuan bukan membuka ruang perpecahan.
Sukamta mengatakan bahwa memperbesar energi dan aura menuju tunggal ika akan lebih kondusif daripada mendorong untuk saling melaporkan seperti di zaman PKI.
Dia juga memberikan refleksi kondisi kebangsaan bahwa saat ini rakyat Indonesia sebagian besar menganggap keadilan di negara ini timpang.
"Dahulu hukum tumpul bagi si kaya dan tajam bagi si miskin, kini ketimpangan bertambah. Kekebalan hukum bagi si pendukung pemerintah dan bagi para pengkritik pemerintah dipersekusi, diancam dan dibui. Indeks demokrasi juga akan memburuk, masyarakat takut berbicara menyampaikan pendapat dan aspirasi yang berbeda dengan pemerintah karena takut di cap ekstrimis," tandasnya.