Laporan wartawan Tribunnews.com, Danang Triatmojo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Pimpinan Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) Jumhur Hidayat kembali meminta Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk menghadirkannya di ruang persidangan.
Sebab pada sidang sebelumnya dan sidang Kamis (4/2), Jumhur hanya dihadirkan lewat daring.
Baca juga: Masih Belum Lengkap, Kejagung Kembalikan Berkas Jumhur Hidayat Cs ke Bareskrim Polri
Permintaan ini disampaikan oleh kuasa hukum Jumhur Hidayat, Oky Wiratama. Ia menyebut sidang daring menyulitkan Jumhur menangkap keterangan para saksi yang dihadirkan.
"Kami juga selaku kuasa hukum meminta pada majelis hakim untuk tetap sidang secara offline atau langsung, karena seperti yang teman - teman lihat, sangat kesulitan kan terdakwa untuk mendengar siapa yang berbicara, dan itu juga menyulitkan kami selaku kuasa hukum, dalam pembelaan," kata Oky di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis (4/2/2021).
Baca juga: Kuasa Hukum Jumhur Hidayat Kritisi Pernyataan Jaksa Soal Perubahan Dakwaan
Namun kata dia Majelis Hakim belum memutuskan apakah menyetujui permintaan Jumhur atau tidak. Jawaban atas permintaan itu baru diputuskan pada sidang agenda putusan sela pada Kamis (11/2) pekan depan.
Ia berharap para pengadil yang menangani perkara ini bisa menerima permintaan pihaknya. Tapi jika ditolak, kubu Jumhur mengaku akan mengambil langkah tegas di persidangan.
"Semoga majelis hakim berbaik hati untuk menyidangkan secara langsung, kalau tidak bisa kita akan mengambil keputusan.
Baca juga: Tim Hukum Jumhur Hidayat Ajukan Penangguhan Penahanan
Kuasa hukum akan mengambil sikap tegas jika pascaputusan sela tidak dikabulkan, maka kami kuasa hukum akan mengambil tindakan tegas," jelas dia.
Jumhur Hidayat Didakwa Sebar Berita Bohong dan Buat Onar di Medsos
Jaksa Penuntut Umum (JPU) mendakwa pentolan KAMI Jumhur Hidayat menyebarkan berita bohong dan membuat keonaran lewat cuitan di akun Twitter pribadinya, terkait Undang - Undang Omnibus Law Cipta Kerja.
Jaksa menilai cuitan Jumhur ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras dan antargolongan (SARA), dalam hal ini golongan pengusaha dan buruh.
Akibat dari cuitannya itu, timbul polemik di tengah masyarakat terhadap produk hukum pemerintah. Sehingga berdampak pada terjadinya rangkaian aksi unjuk rasa yang dimulai pada 8 Oktober 2020, hingga berakhir rusuh.
"Salah satunya, muncul berbagai pro kontra terhadap Undang-undang Cipta Kerja tersebut sehingga muncul protes dari masyarakat melalui demo. Salah satunya, demo yang terjadi pada tanggal 8 Oktober 2020 di Jakarta yang berakhir dengan kerusuhan," imbuh jaksa.
Cuitan Jumhur yang dianggap menyalakan api penolakan masyarakat terhadap UU Cipta Kerja terjadi pada 25 Agustus 2020. Melalui akun Twitter @jumhurhidayat, ia mengunggah kalimat "Buruh bersatu tolak Omnibus Law yang akan jadikan Indonesia menjadi bangsa kuli dan terjajah".
Kemudian pada 7 Oktober 2020, Jumhur kembali mengunggah cuitan yang mirip - mirip berisi "UU ini memang utk PRIMITIVE INVESTOR dari RRC dan PENGUSAHA RAKUS. Kalau INVESTOR BEERADAB ya seperti di bawa ini".
Atas perbuatannya, Jumhur didakwa dengan dua dakwaan alternatif. Pertama, Pasal 14 ayat (1) jo Pasal 15 Undang-undang RI Nomor 1 Tahun 1946 KUHP, atau Pasal 45A ayat (2) jo pasal 28 ayat (2) Undang-undang RI nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan dari Undang - Undang RI nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE.