Laporan wartawan Tribunnews.com, Lusius Genik
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Butuh perjuangan panjang untuk kaum Tionghoa Indonesia bisa merayakan Tahun Baru China atau Imlek secara leluasa.
Pada masa-masa Indonesia dikenal sebagai Hindia-Belanda di bawah kolonialisme, atau tepatnya sekitar tahun 1854, ada peraturan yang mengatur orang berdasarkan segregasi ras.
Ras kelas I adalah orang Eropa; ras kelas dua adalah orang Timur Asing yang meliputi kaum Tionghoa, Arab, India, maupun non-Eropa lain; dan ras kelas ketiga adalah Inlander yang kemudian diterjemahkan sebagai pribumi.
Baca juga: Rayakan Imlek, Chelsea Olivia dan Keluarganya Bagi-bagi Angpao ke Satpam
Sejarawan Bonny Triyana mengungkapkan, di bawah Pemerintahan Kolonialisme yang berdasar segregasi ras telah terjadi begitu banyak kerusuhan rasial, di mana korbannya adalah warga Tionghoa.
"Pertama pada 1740, kemudian pada 1911 di Kudus, Jawa Tengah," ucap Bonny dalam acara 'Imlekan Bareng Banteng' yang digelar di DPP PDI Perjuangan, Jakarta, Jumat (12/2/2021).
Pada masa itu, perayaan Tahun Baru Imlek oleh kaum Tionghoa Indonesia tidak leluasa seperti sekarang ini.
Mungkin ada perayaan yang digelar di klenteng-klenteng maupun di rumah, tapi tidak bebas.
Kebanyakan dilakukan secara sembunyi-sembunyi.
"Sebelum era Bung Karno dulu itu merayakan Imlek sembari ngumpet-ngumpet, terbatas," ujar Bonny Triyana.
Kemudian pada masa Jepang perayaan Imlek sempat diperbolehkan, demikian juga di masa kepemimpinan Presiden Soekarno Karno.
Baca juga: Selamat Tahun Baru Imlek 2021, Ini Contoh Percakapan Menarik saat Kumpul Bersama Keluarga
Tonggaknya adalah Sumpah Pemuda tahun 1928, di mana orang sudah menyatakan satu bahasa, satu bangsa, Indonesia.
Saat itu para perwakilan dari Tionghoa, Ambon, Sumatera, dari seluruh Indonesia mewakili daerahnya, berikrar menjadi satu bangsa, bangsa Indonesia.
"Jadi meninggalkan kesadaran pra Indonesia, yang sebetulnya disekat-sekat secara sempit berdasarkan segregasi rasial. Seluruh orang merasa kedaerahannya lebih kuat," ucap Bonny.