TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional (Kadiv Hubinter) Polri, Irjen Napoleon Bonaparte dituntut 3 tahun pidana dan denda Rp100 juta subsider 6 bulan kurungan.
"Menuntut dengan pidana penjara selama 3 tahun dengan perintah agar terdakwa ditahan di rumah tahanan," ucap Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam sidang agenda pembacaan tuntutan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (15/2/2021).
Tuntutan jaksa ini merujuk pada sejumlah pertimbangan.
Napoleon dinilai tidak mendukung pemerintah dalam upaya pemberantasan korupsi, kolusi, nepotisme.
Selain itu Napoleon juga dinilai telah merusak kepercayaan masyarakat terhadap institusi penegak hukum di Indonesia.
Sementara hal yang meringankan tuntutan, jaksa menilai Napoleon bersikap kooperatif selama proses persidangan bergulir. Kemudian, Napoleon juga baru sekali melakukan tindak pidana.
"Sementara hal yang meringankan, terdakwa kooperatif selama persidangan. Kemudian terdakwa juga baru sekali melakukan tindak pidana," ucap jaksa membaca surat tuntutan.
Atas dua pertimbangan tersebut, Napoleon dianggap sudah melanggar Pasal 5 ayat 2 juncto Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b Undang-Undang (UU) Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Baca juga: Irjen Napoleon Simpan Rekaman Percakapan Dirinya Bersama Tommy Sumardi dan Prasetijo di Sel Tahanan
Diketahui Mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional (Kadiv Hubinter) Polri Irjen Pol Napoleon Bonaparte sebelumnya didakwa menerima suap sebesar 200 ribu dolar Singapura dan 270 ribu dolar AS dari Djoko Tjandra.
Duit tersebut diterima lewat perantara Tommy Sumardi. Uang tersebut diberikan oleh Djoko Tjandra agar namanya dihapus dari daftar DPO atau red notice. Napoleon didakwa menerima duit itu bersama-sama Brigjen Pol Prasetijo Utomo. Adapun, Prasetijo menerima 150 ribu dolar AS.
Dalam surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU), disebutkan Irjen Napoleon Bonaparte memerintahkan Kabag Jatinter Set NCB Interpol Divhubinter Polri Kombes Pol Tommy Aria Dwianto untuk membuat surat kepada pihak Imigrasi pada tanggal 29 April 2020 yang ditandatangani oleh Sekretaris NCB Interpol Indonesia Brigjen Pol Nugroho Slamet Wibowo.
Isi surat tersebut menginformasikan bahwa Sekretariat NCB Interpol Indonesia Divhubinter Polri sedang melakukan pembaharuan sistem database DPO yang terdaftar dalam Interpol Red Notice melalui jaringan I-24/7, dan diinformasikan bahwa data DPO yang diajukan oleh Divhubinter Polri kepada Ditjen Imigrasi sudah tidak dibutuhkan lagi.
Selain itu, Napoleon juga memerintahkan Tommy Aria Dwianto untuk membuat surat pada tanggal 4 Mei 2020 perihal pembaharuan data Interpol Notices yang ditandatangani Brigjen Pol Nugroho Slamet Wibowo untuk Ditjen Imigrasi yang isinya menyampaikan penghapusan Interpol Red Notice.
Selanjutnya, pada tanggal 5 Mei 2020, Irjen Pol Napoleon Bonaparte memerintahkan Kombes Pol Tommy Aria Dwianto untuk membuat surat soal penghapusan red notice yang ditujukan kepada Ditjen Imigrasi Kemenkumham dan ditandatangnai Brigjen Pol Nugroho Slamet Wibowo.
Isi surat tersebut menginformasikan bahwa red notice Djoko Tjandra telah terhapus dari sistem basis data Interpol sejak 2014 setelah 5 tahun.