TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ahli hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII), Mudzakir menyebut unsur pemufakatan jahat yang dilakukan Joko Soegiarto Tjandra alias Djoko Tjandra dalam kasus pengurusan fatwa Mahkamah Agung (MA), tidak terpenuhi.
Hal ini ia sampaikan dalam sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor Jakarta dengan Terdakwa Djoko Tjandra pada Kamis (18/2/2021).
Sidang beragendakan mendengar keterangan saksi ahli A De Charge atau saksi meringankan yang diajukan kubu Djoko Tjandra.
Mulanya kuasa hukum Djoko Tjandra, Soesilo Aribowo bertanya kepada ahli dengan mengibaratkan sebuah kasus.
Ia bertanya, jika ada tiga orang yang merencanakan suatu perbuatan melawan hukum tapi dalam prosesnya satu orang diantara mereka memilih tak mau terlibat dan mengundurkan diri dari rencana tersebut.
Atas hal itu, Soesilo bertanya apakah dalam kasus tersebut unsur pemufakatan jahat masih terpenuhi atau tidak.
"Pertanyaan saya adalah apakah ini sudah termasuk permufakatan jahat atau percobaan untuk melakukan tindak pidana?" tanya Soesilo di persidangan.
Baca juga: KPK Janji Bakal Dalami Sosok King Maker di Kasus Pinangki-Djoko Tjandra, Siapa Dia Sebenarnya?
Mudzakir pun menjelaskan jika berkaca pada kasus tersebut, orang yang memutuskan tidak terlibat dianggap tak terlibat dalam pemufakatan jahat.
Pasalnya kata dia, unsur tindak pidana pemufakatan jahat memiliki makna sudah berwujud dalam bentuk perbuatan.
"Jadi kalau misalnya ada 3 atau 4 bersepakat untuk berbuat jahat dan sudah diwujudkan dalam bentuk perbuatan sebut saja persiapan awal. Terus kemudian mengundurkan diri karana tidak ingin terlibat dalam proses itu lanjut, dan dia membuat pernyataan mengundurkan diri atau tidak setuju dan sebagainya," jelas Mudzakir.
"Menurut ahli pada level itu berarti dia tidak lagi termasuk dalam bagian dari pada permufakatan tersebut karena dia sudah membuat pernyataan mengundurkan diri atau tidak ikut serta atau membatalkan keturut sertaan dalam niat jahat tersebut," imbuhnya.
Mudzakir menambahkan, bahwa pemufakatan jahat didasarkan dengan niat dari masing - masing individu. Sehingga jika satu diantara individu tersebut memutuskan berhenti atau tak mau terlibat, maka secara otomatis niat melakukan perbuatan jahat hilang atau tidak ada lagi.
"Dengan demikian secara substansi pokok dari permufakatan sudah hilang karena sudah tidak lagi mufakat berbuat jahat karena sudah hilang," pungkas dia.
Dalam kasus ini, terpidana kasus korupsi hak tagih atau cessie Joko Soegiarto Tjandra alias Djoko Tjandra didakwa menyuap Pinangki Sirna Malasari selaku Kepala Sub Bagian Pemantauan dan Evaluasi II pada Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Pembinaan Kejaksaan Agung RI, senilai 500 ribu dolar AS dari total yang dijanjikan sebesar 1 juta dolar AS.
Suap sebesar 1 juta dolar AS yang dijanjikan Djoko Tjandra itu bermaksud agar Pinangki bisa mengupayakan pengurusan fatwa Mahkamah Agung lewat Kejaksaan Agung.
Fatwa MA itu bertujuan agar pidana penjara yang dijatuhkan pada Djoko Tjandra berdasarkan putusan PK Nomor 12 Tanggal 11 Juni 2009 tidak bisa dieksekusi.
Djoko Tjandra bersama Pinangki dan Andi Irfan Jaya juga disebut melakukan pemufakatan jahat dalam pengurusan fatwa MA itu. Mereka menjanjikan uang 10 juta dolar AS kepada pejabat di lembaga Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung.