Terkait kehadiran produk air minum dalam kemasan galon sekali pakai di tengah upaya pemerintah mengurangi sampah plastik.
Peneliti Greenpeace Indonesia, Afifah Rahmi Andini mengatakan bahwa ini sudah membawa masalah baru terhadap upaya pengurangan sampah.
“Kami melihat keberadaan dari galon sekali pakai ini akan menjadi masalah yang akan memperumit masalah sampah plastik di Indonesia.
Pada kondisi permasalahan sampah kita saat ini terutama cemaran sampah plastik sudah pada tahap yang mengkhawatirkan dan masalahnya belum kunjung usai, sekarang tiba-tiba muncul narasi-narasi neodestruktif dari galon sekali pakai ini,” tukasnya.
Baca juga: Polemik Galon Sekali Pakai Tambah Permasalahan Sampah, KLHK Tegaskan Galon Jangan Dibuang ke TPA
“Sekarang muncul narasi-narasi neo destruktif dari galon sekali pakai. Kemudian yang membahayakan yang saya sebut neo destruktif karena seolah-olah galon sekali pakai untuk kemudian bisa dimainstreamkan penggunaannya.
Dalam kampanyennya bahwa, produk galon sekali pakai ini cenderung lebih higienis, lebih baik, terutama digunakan saat masa-masa pandemi. Padahal hal ini kemudian menjadi mengkhawatirkan, yang mana masyarakat sudah mulai bertransisi ke gaya hidup yang minim sampah, dengan membawa tumbler sendiri dan lain-lain,” ujar Affifah.
Dia mengatakan munculnya kemasan galon sekali pakai ini menjadi mengkhawatirkan bagi penyelesaiaan masalah sampah di Indonesia.
“Karena di tengah masyarakat sudah mulai bertransisi, mulai menerapkan gaya hidup yang minim sampah dan lebih zero waste dengan mulai membawa tumbler sendiri, dan lain sebagainya, kok malah dirusak dengan munculnya galon sekali pakai. Saaya khawatir ini dapat menarik mundur upaya yang sudah dilakukan public,” katanya.
Dalam salah satu temuan dalam studi yang dilakukan oleh Greenpeace Indonesia, sebagian besar responden menyatakan tanggung jawab untuk menyelesaikan krisis sampah plastik ada di pemerintah dan produsen.
Sebanyak 55% responden menyatakan, korporasi mempunyai peran yang strategis untuk mengurangi volume sampah plastik dengan menghindari kemasan plastik sekali pakai.
Lalu 22% responden mengatakan, pemerintah seharusnya berperan besar untuk menangani sampah plastik dengan membuat regulasi yang tegas untuk melarang perusahaan memanfaatkan kemasan plastik sekali pakai.
Selain itu, hampir 70% responden dalam survei menyatakan bersedia beralih ke menggunakan produk dengan sistem isi ulang (refill) dan guna kembali (reuse).
“Publik melihat peraturan pemerintah bisa mendorong perusahaan untuk mulai melakukan transisi pengemasan produknya menuju model pengiriman alternatif,” ujar Muharram Atha Rasyadi, Juru Kampanye Urban Greenpeace Indonesia.