News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Perpres Investasi Minuman Keras

10 Tokoh yang Menolak Perpres Investasi Miras, Said Aqil hingga Arsul Sani

Penulis: Facundo Chrysnha Pradipha
Editor: Sri Juliati
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Presiden Jokowi. Peraturan Presiden terkait pembukaan investasi baru dalam industri minuman keras yang mengandung alkohol menuai protes dari berbagai pihak

TRIBUNNEWS.COM - Peraturan Presiden terkait pembukaan investasi baru dalam industri minuman keras (miras) yang mengandung alkohol menuai protes dan kritikan dari berbagai pihak.

Tak hanya legislator, para ulama menentang keras jika aturan tersebut disahkan dan diberlakukan.

Namun, pada akhirnya Perpres yang mengatur izin investasi untuk industri miras itu telah dicabut oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Lalu siapa saja tokoh-tokoh yang menentang adanya perpres tersebut?

Inilah rangkuman Tribunnews.com terkait tokoh-tokoh yang menolak Perpres miras:

Baca juga: 1 Tahun Pandemi Corona di Indonesia, Ahli Epidemiologi Soroti Testing Belum Maksimal

1. Ketua Bidang Fatwa MUI, Asrorun Niam

Ketua Bidang Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), Asrorun Niam Sholeh meminta pemerintah untuk mencabut aturan mengenai pembukaan investasi minuman keras.

Aturan mengenai investasi miras diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal.

Menurut Asrorun, desakan MUI ini berlandaskan upaya menciptakan ketertiban dan kesejahteraan masyarakat.

"Komitmen MUI jelas. Cabut aturan yang melegalkan miras untuk ketertiban umum dan kesejahteraan masyarakat," ucap Asrorun melalui keterangan tertulis, Selasa (2/3/2021).

Asrorun menegaskan bahwa sikap MUI terhadap peredaran minuman keras telah sangat jelas, yakni menolak.

Sikap tersebut telah dinyatakan dalam rekomendasi Fatwa MUI Nomor 11 Tahun 2009.

"Menegaskan kembali rekomendasi Fatwa MUI Nomor 11 Tahun 2009, sebagai berikut."

"Pemerintah agar melarang peredaran minuman beralkohol di tengah masyarakat dengan tidak memberikan izin pendirian pabrik yang memproduksi minuman tersebut."

"Dan tidak memberikan izin untuk memperdagangkannya, serta menindak secara tegas pihak yang melanggar aturan tersebut," tutur Asrorun.

2. Anggota DPD Papua Barat, Filep Wamafma

Anggota DPD RI dapil Papua Barat, Filep Wamafma menguraikan sikap penolakannya terhadap Perpres Investasi Minuman Keras.

"Jika kita kaitkan dalam konteks Otonomi Khusus (Otsus), secara hukum, UU Cipta Kerja sama sekali tidak memperhitungkan keberadaan UU Otsus terutama daerah Papua/Papua Barat sebagai wilayah khusus."

"Jangankan UU Otsus, UU Pemerintahan Daerah pun menjadi tidak berkutik di hadapan UU Cipta Kerja."
"Sekarang Perpres legalisasi miras turunan Cipta Kerja salah satu contohnya," kata Filep.

"UU Cipta Kerja menciptakan peluang yang sangat luas bagi masuknya investasi, namun memangkas sifat desentralisasi otonomi daerah, dan tidak memperhitungkan wilayah dengan Otonomi Khusus seperti Papua/Papua Barat," tambahnya lagi.

Padahal menurutnya, data menunjukkan, miras menyumbang kematian di Papua.

Tak hanya di Papua, 75% angka kriminalitas di Merauke disebabkan miras, 75% juga menyebabkan lakalantas.

Pada Juni 2019, Wakapolda Papua menyatakan, miras adalah penyebab kriminalitas di Papua.

Gubernur Papua, Lukas Enembe menyatakan bahwa setiap tahun ada kurang lebih 22% Orang Papua meninggal karena miras.

"Data-data tersebut sudah cukup menjadi bukti bahwa betapa banyak keburukan yang terjadi akibat minuman beralkohol," kata senator yang juga sebagai ketua STIH Manokwari.

Dalam Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) Provinsi Papua Tahun 2018, disebutkan bahwa tingkat kriminalitas tinggi terutama disebabkan oleh konsumsi miras.

Itu sebabnya mengapa Gubernur Papua mengeluarkan Perda Miras Momor 15 Tahun 2013 serta Instruksi Gubernur Papua No. 3/Instr-Gub/2016, yang mengatur mengenai pelarangan produksi, pengedaran serta penjualan minuman beralkohol. Sayangnya, PTUN menggugurkannya pada tahun 2017.

Dalam struktur hukum, ada beberapa Pasal terkait miras yang terdapat dalam KUHP, yaitu Pasal 300 ayat (1), Pasal 537 dan 538 KUHP

Masih berkaitan dengan KUHP, larangan akan kegiatan penjualan minuman keras oplosan telah diatur dalam Pasal 204: (1) barang siapa yang menjual, menyerahkan, menawarkan atau membagi-bagikan barang yang diketahuinya membahayakan nyawa atau kesehatan orang, sedangkan sifat berbahayanya itu tidak diberitahukannya maka diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun dan ayat; (2) bila perbuatannya tersebut menyebabkan orang mati, maka yang bersalah diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama dua puluh tahun lamanya. Pasal tersebut berkaitan dengan miras oplosan.

Tak hanya itu, Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2019 Tentang Perubahan Keenam atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 20/M-Dag/Per/4/2014 Tentang Pengendalian dan Pengawasan Terhadap Pengadaan, Peredaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol, juga memberikan batasan yang sangat ketat terhadap perdagangan dan peredaran minuman beralkohol.

"Apakah Pemerintah dapat memberikan jaminan mengenai takaran alkohol dalam minuman yang diklaim sebagai budaya dan kearifan ini?" tanya senator Papua Barat tersebut.

Baca juga: Aksi Bripka Sudarsih Hentikan Langkah Bandar Narkoba Meski Kepala Sudah Berdarah-darah Kena Bacok

3. Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Abdul Mu'ti

Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Abdul Mu'ti mengatakan, pemerintah sebaiknya lebih bijak dan mendengar aspirasi masyarakat yang keberatan dengan Perpres tersebut.

Pihaknya meminta agar pemerintah tidak hanya melihat dari sisi ekonomi terkait penarikan industri minuman keras dari daftar negatif investasi.

"Sebaiknya Pemerintah tidak hanya mempertimbangkan aspek ekonomi saja, tetapi juga dampak kesehatan, sosial, dan moral bangsa," kata Mu'ti, Senin (1/3/2021).

Menurutnya, pemerintah selain bertanggung jawab menciptakan kesejahteraan material, juga berkewajiban menjaga dan membina moralitas masyarakat.

Hal senada juga dikemukakan Ketua Pimpipinan Pusat Muhammadiyah, Anwar Abbas yang mengaku kecewa dengan kebijakan pemerintah terkait Perpres tersebut.

Anwar Abbas menilai, kebijakan di atas tidak lagi melihat aspek menciptakan kebaikan dan kemaslahatan bagi masyarakat luas, tetapi hanya memperhitungkan aspek investasi semata.

"Saya melihat dengan adanya kebijakan ini, tampak sekali bahwa manusia dan bangsa ini telah dilihat dan diposisikan oleh pemerintah dan dunia usaha sebagai objek yang bisa dieksploitasi demi keuntungan yang sebesar-besarnya bagi kepentingan pemerintah dan dunia usaha," ujarnya, dikutip dari situs Muhammadiyah.

Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj dalam silaturrahim Pimpinan Cabang Istimewa (PCI) NU sedunia secara daring, Selasa (19/5/2020). (Tribunnews.com/ Larasati Dyah Utami)

4. Ketua Umum PBNU, KH Said Aqil

Sementara itu, sikap yang sama juga ditunjukkan oleh Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Said Aqil Siroj.

Pihaknya dengan tegas menolak rencana pemerintah yang menjadikan industri minuman keras (miras) keluar dari daftar negatif investasi.

Menurut Said, Alquran telah jelas mengharamkan miras karena menimbulkan banyak mudharat.

"Kita sangat tidak setuju dengan Perpres terkait investasi miras."

"Dalam Alquran dinyatakan 'Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri dalam kebinasaan'," kata Said melalui keterangan tertulis, Senin (1/3/2021).

Said mengatakan, seharusnya kebijakan pemerintah mendatangkan kemaslahatan bagi masyarakat.

Hal tersebut, menurut Said, sesuai kaidah fiqih bahwa kebijakan pemimpin harus didasarkan pada kemaslahatan rakyat.

Menurutnya, Pemerintah seharusnya menekan angka konsumsi alkohol di masyarakat.

"Karena agama telah tegas melarang, maka harusnya kebijakan pemerintah itu menekan konsumsi minuman beralkohol, bukan malah didorong untuk naik," kata Said.

Dirinya mewanti-wanti kerusakan yang dapat terjadi dengan penerapan investasi miras ini.

"Kalau kita rela terhadap rencana investasi miras ini, maka jangan salahkan kalau nanti bangsa kita rusak," ucapnya.

5. Rizieq Shihab

Rizieq Shihab juga ikut mengkritik soal kebijakan pemerintah yang mengatur industri minuman keras dari skala kecil hingga skala besar.

"(Habib Rizieq) Menolak keras Perpres maksiat. Miras sumber kejahatan," kata Kuasa Hukum Habin Rizieq Shihab, Aziz Yanuar, saat dihubungi, Selasa (2/3/2021).

Aziz kemudian bicara soal bagaimana Front Pembela Islam (FPI) atas komando Habib Rizieq saat itu yang berjuang melakukan upaya hukum terhadap Keppres No 3/1997 tentang Pengendalian Minuman Beralkohol.

"FPI dahulu atas arahan beliau melalui kami (tim hukum) tahun 2013 judicial review dan dikabulkan alhamdulillah oleh Mahkamah Agung waktu itu," ujarnya.

6. Ketua Umum Partai Gelora, Anis Matta

Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Anis Matta meminta, pemerintah sebaiknya tidak memfasilitasi investasi miras, karena bertentangan dengan norma-norma agama yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Indonesia.

"Seharusnya Indonesia menjadi negara yang memfasilitasi investasi untuk industri herbalnya yang berbahan baku jahe atau eucalyptus (kayu putih) yang teruji bisa berguna di saat pandemi Covid-19 seperti sekarang ini," kata Anis melalui keterangan yang didapat wartawan, Selasa (2/3/2021).

Menurut Anis Matta, Indonesia kaya akan tumbuhan herbalnya tersebar di 34 provinsi.

"Oleh oleh karena itu sudah seharusnya kita mengembangkan industri herbal menjadi industri global yang dibutuhkan dunia untuk menyembuhkan Covid-19," ujarnya.

Anis berharap pemerintah bijak dan konsisten dengan pemulihan kesehatan masyarakat.

Bukan sebaliknya memberikan izin investasi miras. Sebab, miras justru akan melemahkan imunitas bagi peminumnya, sehingga rentan terpapar Covid-19.

"Di tengah situasi pandemi Covid-19 belum selesai, seharusnya pemerintah mendukung kampanye hidup sehat yang mampu meningkatkan imunitas tubuh masyarakat Indonesia."

"Minuman keras menjadi hal yang mampu melemahkan imunitas bagi peminumnya," kata Anis Matta.

Partai Gelora meminta pemerintah tidak kehilangan imajinasinya dalam pemulihan kesehatan publik.

Pemerintah perlu segera memanfaatkan tumbuhan herbal asli nusantara sebagai obat asli Indonesia untuk memperbaiki kesehatan dunia dari pandemi Covid-19.

"Kita perlu mengembangkan imajinasi pemulihan kesehatan publik melalui herbal dan bahan farmasi yang Indonesia miliki."

"Kita harus mengimajinasikan dampak dari pandemi ini. Indonesia punya industri farmasi dan industri herbal global yang menjadi solusi dunia bagi pandemi Covid-19,"paparnya.

7. Anggota Komisi I DPR, TB Hasanuddin

Anggota Komisi I DPR RI Mayjen TNI (purn) TB Hasanuddin menyoroti pemberian izin investasi untuk industri minuman keras (miras) atau beralkohol dari skala besar hingga kecil oleh Pemerintah.

Hasanuddin meminta pemerintah agar mempertimbangkan ulang ketentuan ini yang tertuang di Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal yang diteken kepala negara pada 2 Februari 2021.

Aturan ini merupakan turunan dari Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

"Ada beberapa pertimbangan, yang pertama ternyata pendapatan industri miras tidak terlalu signifikan."

"Bulan Januari 2021 negara hanya mendapat pemasukan sekitar Rp 250 milIar," kata Hasanuddin kepada wartawan, Senin (1/3/2021).

Pertimbangan kedua, dengan adanya investasi besar-besaran di sektor miras, tidak mustahil penyebaran miras di Indonesia akan meningkat.

"Dan bila kontrolnya kurang ketat akan berdampak negatif pada kebiasaan dan pola hidup masyarakat," kata Hasanuddin.

Sebagai contoh, kata Hasanuddin, demi masyarakatnya Provinsi Papua saja menolak rencana investasi miras.

"Selain itu, di tataran nasional banyak kejadian kriminal sebagai dampak mengonsumsi minuman keras, contohnya ada oknum penegak hukum menembak 4 orang di Tangerang lantaran mabuk," ucapnya.

Pertimbangan lainnya, penempatan investasi di wilayah tertentu terlebih membangun pabrik miras harus dengan pertimbangan sangat matang dengan mendengar suara masyarakat di wilayah itu.

"Karena bagaimanapun pabrik miras di sebuah daerah akan berpengaruh terhadap masyarakat setempat. Kebijakan investasi harus bersifat nasional," ujarnya.

Hasanuddin menyarankan, untuk kebutuhan turis mancanegara di Indonesia sebaiknya dikembangkan pabrikan miras lokal yang lebih berkualitas terutama untuk ekspor.

Hal ini akan sangat membantu para pengusaha lokal di wilayah tertentu .

"Saya lihat di beberapa wilayah sudah memiliki potensi untuk itu," ujarnya.

8. Sekjen PKS, Habib Aboe Bakar Alhabsyi

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tegas menolak dibukanya investasi minuman keras (miras).

"Pembelaan rakyat yang paling terakhir kita tunjukkan dengan menolak adanya investasi miras," kata Sekjen PKS, Habib Aboe Bakar Alhabsyi dalam pembukaan Rakernas PKS yang disiarkan secara virtual, Senin (1/3/2021).

Habib Aboe menegaskan, PKS terus melayani rakyat dan membela rakyat.

"PKS juga menolak penghapusan santunan untuk kematian akibat Covid-19, PKS juga menolak kebijkan penyertaan modal negara terkait skema untuk menanggung beban skandal Jiwasraya," ucap anggota Komisi III DPR RI itu.

"Berbagai pembelaan kepentingan terhadap rakyat akan terus kita lakukan pada setiap dinamika kebijakan publik, PKS akan berdiri sama rakyat," katanya.

9. Wakil Ketua Umum PPP, Arsul Sani

Sekjen PPP Arsul Sani di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (11/2/2020). (KOMPAS.com/TSARINA MAHARANI)

Partai Persatuan Pembangunan (PPP) menjadi salah satu partai politik yang tidak setuju dengan kebijakan investasi industri minuman keras (miras).

"Ketika PPP harus bersikap tidak setuju terhadap kebijakan pemerintah, ya kami katakan tidak setuju."

"Ketika ketidaksetujuan tersebut perlu dinyatakan terbuka, ya kami suarakan di ruang media," ujar Wakil Ketua Umum PPP Arsul Sani, kepada Tribunnews.com, Senin (1/3/2021).

Arsul mengatakan kebijakan yang diambil pemerintah ini adalah kebijakan yang kebablasan atau melewati batas.

"Kebijakan membuka investasi minuman keras yang tersurat juga berlaku untuk propinsi-propinsi lain selain Papua, NTT, Bali dan Sulut asal dengan persetujuan Gubernur adalah kebijakan kebablasan," ungkapnya.

Untuk mengakomodasi kearifan lokal, Arsul menilai tidak perlu kebijakan tersebut dituangkan dalam peraturan pada level Perpres. Namun bisa melalui peraturan di bawahnya.

"Apalagi selama ini industri minuman dengan kandungan alkohol untuk keperluan 'kearifan lokal' juga sudah berjalan di sejumlah daerah," kata dia.

Wakil Ketua MPR itu lantas menyinggung, pada level nasional, PT Multi Bintang yang memproduksi Bir Bintang juga sudah ada bertahun-tahun tanpa harus melakukan 'liberalisasi' kebijakan investasi minuman keras.

"Jadi berapa sih pajak yang hendak diperoleh (dengan Perpres ini)? Berapa sih efek penyerapan tenaga kerjanya?" tanya Arsul.

10. Wakil Ketua MPR RI, Syarief Hasan

Wakil Ketua MPR RI dari Fraksi Partai Demokrat menyayangkan lahirnya kebijakan Pemerintah yang memperbolehkan industri minuman keras (miras) dijual secara terbuka di Indonesia.

Pasalnya, industri miras ini berpotensi menimbulkan banyak persoalan baru di masyarakat, baik sosial, budaya, hingga kesehatan.

Anggota Majelis Tinggi Partai Demokrat ini menyebut, Pancasila dan UUD 1945 sebagai panduan bernegara kini tidak lagi dijadikan pedoman dalam mengambil kebijakan.

"Dengan kehadiran kebijakan ini, kita seperti bangsa yang telah kehilangan arah dan pegangan dalam mengelola negara yang penuh dengan nilai-nilai luhur. Dan Pancasila yaitu Ke Tuhanan Yang Maha Esa," ungkap Syarief Hasan.

Ia pun sangat menyayangkan diberikannya izin industri miras beroperasi secara terbuka di Indonesia.

Apalagi, dalam aturan baru tersebut, salah satu dari empat klasifikasi miras yang masuk dalam daftar bidang usaha dengan persyaratan tertentu adalah perdagangan eceran kaki lima miras atau alkohol dan ini berbahaya dampaknya ke masyarakat.

Syarief Hasan mengkhawatirkan, dibukanya industri miras hingga ke tingkatan pedagang kaki lima berpotensi merusak karakter dan nilai luhur bangsa Indonesia.

"Pemerintah yang hari ini gencar menggemborkan revolusi mental, namun malah mengambil kebijakan yang kontradiksi dengan gerakan ini," ungkap Syarief.

Ia pun mendesak Pemerintah untuk meninjau kembali Perpres No. 10 Tahun 2021 tersebut, khususnya di bagian industri miras agar kembali dijadikan sebagai usaha tertutup seperti sebelum-sebelumnya.

"Pemerintah harus mempertimbangkan nilai luhur dan karakter bangsa dan pengamalan Pancasila di atas pertimbangan-pertimbangan ekonomi yang semu," tegas Syarief Hasan.

Ia mendorong Pemerintah untuk tidak mengambil kebijakan yang sensitif dan bisa mengganggu proses pemulihan ekonomi nasional.

"Pemerintah harusnya fokus menanggulangi Pandemi Covid-19 dan memulihkan ekonomi nasional, bukan mengambil kebijakan yang kontraproduktif.dan akan berdampak negative terhadap Rakyat," kata Syarief Hasan.

Jokowi Cabut Perpres Miras

Presiden Joko Widodo (Jokowi) akhirnya memutuskan mencabut lampiran Peraturan Presiden terkait pembukaan investasi baru dalam industri minuman keras yang mengandung alkohol.

Hal itu disampaikan Presiden dalam Konferensi Pers Virtual yang disiarkan dalam Youtube Sekretariat Presiden, Selasa, (2/3/2021).

"Saya putuskan lampiran Perpres terkait pembukaan investasi baru dalam industri minuman keras yang mengandung alkohol saya nyatakan dicabut," kata Presiden.

Aturan mengenai investasi miras diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal.

Aturan tersebut menuai protes dari sejumlah kalangan termasuk organisasi kemasyarakatan (Ormas) Islam.

Keputusan tersebut, kata Jokowi diambil setelah menerima masukan-masukan dari ulama-ulama dan Ormas Islam.

Baik itu ulama MUI, Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan ormas-ormas lainnya.

"Serta tokoh-tokoh agama yang lain dan juga masukan-masukan dari provinsi dan daerah," pungkasnya.

(Tribunnews.com/ Chrysnha, Fahdi Fahlevi, Tio, Reza Deni, Chaerul Umam, Vincentius Jyestha, Taufik Ismail)

 
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini