TRIBUNNEWS.COM - Kasus tewasnya enam laskar Front Pembela Islam (FPI) pada awal Desember 2020 lalu menuai sorotan.
Di antaranya muncul dugaan unlawful killing atau extrajudicial killing.
Hal itu lantaran dalam investigasinya, Komnas HAM mengindikasikan tewasnya laskar FPI itu sebagai extra judicial killing atau unlawful killing.
Lantas apa itu unlawful killing atau extrajudicial killing?
Dikutip dari Amnesty USA, extra judicialkilling atau unlawful killing adalah tindakan pembunuhan di luar hukum yang dilakukan atas perintah pemerintah atau pihak berkuasa lain.
Kemudian, pihak berwajib tidak berhasil untuk menginvestigasi secara mendalam atau pun menangkap siapa otak dari tindakan pembunuhan tersebut.
Baca juga: POPULER NASIONAL: Kapolri Lantik 4 Kapolda Baru | 6 Laskar FPI yang Tewas jadi Tersangka
Sementara, dikutip dari SEAJBEL, ekstrajudicial killing adalah saudara kembar dari penyiksaan.
Secara khusus, yang paling disayangkan adalah unlawful killing atau pembunuhan di luar hukum yang bermotif politik.
Dalam jurnal tersebut tertulis, pembunuhan jenis ini banyak terjadi karena berkaitan dengan motif politik.
Banyak tokoh politik terkemuka, serikat buruh, tokoh pembangkang, tokoh agama, hingga tokoh sosial yang terkadang menjadi target dan akan ditandai untuk dibunuh.
Tertulis juga dalam Pasal 104, Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, ekstra judicial killing dianggap sebagai pelanggaran hak asasi manusia yang berat.
Baca juga: 3 Personel Polda Metro Jaya Dibebaskan Tugas Sementara Usai Jadi Terlapor Kasus Laskar FPI
Selain itu, dalam buku Hukum Pidana Terorisme Teori dan Praktik tertulis, tindakan ekstrajudicial killing memiliki ciri-ciri seperti berikut:
1. Melakukan tindakan yang menimbulkan kematian;
2. Dilakukan tanpa melalui proses hukum yang sah;
3. Pelakunya adalah aparat negara;
4. Tindakan yang menimbulkan kematian tersebut tidak dilakukan dalam keadaan membela diri atau melaksanakan perintah undang-undang.
Kasus Pembunuhan Laskar FPI Dianggap Unlawful Killing
Adapun, lembaga Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyebut peristiwa yang terjadi di kilometer 50 Tol Jakarta-Cikampek, Karawang, Jawa Barat, pada 7 Desember 2020 lalu itu sebagai ekstrajudicial killing.
Dalam keterangan resmi pada 7 Desember 2020, Kontras lebih dulu menyebut ada indikasi extrajudicial killing atau unlawful killing dalam peristiwa tersebut, sebelum hasil investigasi Komnas HAM keluar.
"Atas peristiwa kematian 6 orang tersebut, kami mengindikasikan adanya praktik extrajudicial killing atau unlawful killing dalam peristiwa tersebut."
"Pasalnya, secara kepemilikan senjata, kepolisian pun lebih siap. Penggunaan senjata api juga semestinya memerhatikan prinsip nesesitas, legalitas, dan proporsionalitas."
"Terlebih lagi berdasarkan UN Basic Principles on the Use of Force and Firearms by Law Enforcement Official, penggunaan senjata api hanya diperbolehkan untuk tujuan melumpuhkan bukan membunuh," kata Koordinator Kontras, Fatia Maulidiyanti, dikutip dari laman resmi Kontras.
Selain dari Kontras, Peneliti Amnesty International Indonesia Ari Pramuditya juga membenarkan adanya dugaan ekstrajudicial killing dalam peristiwa tersebut.
Ia mengatakan, penembakan polisi terhadap anggota laskar Front Pembela Islam (FPI) di Tol Jakarta-Cikampek merupakan tindakan pembunuhan di luar proses hukum.
Baca juga: 6 Laskar FPI yang Tewas Jadi Tersangka, Kuasa Hukum: Keputusan Polisi Lampaui Undang-Undang
Hal itu menyusul temuan Komnas HAM yang menyebut bahwa penembakan 4 laskar FPI melanggar HAM.
"Meskipun anggota FPI tersebut diduga melakukan pelanggaran hukum atau pun tindak pidana, mereka tidak seharusnya diperlakukan demikian," kata Ari dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Jumat (8/1/2021).
"Mereka tetap memiliki hak ditangkap dan dibawa ke persidangan untuk mendapat peradilan yang adil demi pembuktian, apakah tuduhan tersebut benar," ungkapnya.
Menurut Ari, aparat keamanan tidak berhak menjadi hakim dan memutuskan untuk mengambil nyawa begitu saja.
"Karena itu kami menilai kasus ini adalah tindakan extrajudicial killing (pembunuhan di luar putusan hukum)," ujar Ari.
Sementara, Komnas HAM memutuskan insiden yang menewaskan enam laskar FPI ini bukan pelanggaran HAM berat.
Meski mengakui terjadi pelanggaran hak asasi, namun mereka memutuskan untuk memproses dengan pendekatan pidana.
Hal itu lantaran tidak ada unsur pelanggaran HAM berat di kasus tersebut.
"Kami tidak menemukan indikasi ke arah itu (pelanggaran HAM berat) karena untuk disebut sebagai pelanggaran HAM berat tentu ada indikator, ada kriteria."
"Misalnya ada suatu desain operasi, suatu perintah yang terstruktur terkomando dan lain-lain."
"Termasuk juga indikator repetisi, perulangan kejadian, dan lain-lain. Itu tidak kami temukan," kata Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik dalam tayangan Kompas TV, Kamis (14/1/2021).
Untuk itu, Komnas HAM menyimpulkan insiden ini adalah pelanggaran hak asasi yakni menghilangkan nyawa manusia, yang mengarah pada unlawful killing atau pembunuhan tanpa proses hukum yang benar.
(Tribunnews.com/Maliana, Kompas.com/Irfan Kamil)