Laporan Reporter Tribunnews.com, Rizki Sandi Saputra
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana turut mengkritisi terkait tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) kepada terdakwa hak tagih atau cassie Joko Soegiarto Tjandra alias Djoko Tjandra.
Dirinya mengatakan tuntutan yang diberikan JPU belum maksimal bahkan pada regulasi tindak pidana korupsi tuntutan yang diberikan tidak ideal.
"Sebab, regulasi tersebut sama sekali tidak memberikan hukuman yang ideal bagi pelaku," kata dia melalui keterangan resminya, Jumat (5/3/2021).
Berpandangan dari tuntutan JPU dan regulasi tersebut, kata dia, hukuman maksimal bagi Djoko Tjandra sebagai pemberi suap institusi penegak hukum seharusnya dijatuhkan hukuman maksimal.
Terlebih katanya, Djoko Tjandra telah ditetapkan sebagai terpidana dalam kasus ini.
"Dapat dibayangkan, hukuman maksimal bagi pelaku pemberi suap hanya lima tahun penjara. Model ini sebenarnya tidak layak bagi seorang Djoko Tjandra, yang harusnya dapat dihukum penjara seumur hidup," katanya menambahkan.
Oleh karena itu, dia meminta Majelis Hakim saat memberikan keputusan nantinya untuk tidak sependapat dengan tuntutan jaksa.
Baca juga: Tuntut 4 Tahun Bui, Jaksa Pinggirkan Kejahatan Djoko Tjandra Suap Perwira Tinggi Polri
Serta pihaknya mendorong Majelis Hakim agar dapat memberikan putusan maksimal kepada Djoko Tjandra.
"ICW mendorong agar Hakim dapat mengesampingkan tuntutan penuntut umum dan menghukum maksimal Joko S Tjandra," tukasnya.
Sebelumnya, Joko Soegiarto Tjandra alias Djoko Tjandra dituntut 4 tahun penjara dan dendan Rp100 juta subsider 6 bulan kurungan. Jaksa Penuntut Umum (JPU) menyatakan Djoko Tjandra terbukti melakukan tindak pidana korupsi berupa suap kepada pejabat penyelenggara negara.
Adapun hal - hal yang dianggap memberatkan tuntutan, yakni Djoko Tjandra dianggap tidak mendukung program pemerintah dalam rangka penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi.
Selain membacakan tuntutan, JPU juga menolak permohonan Djoko Tjandra untuk menjadi justice collaborator atas surat yang diajukan tertanggal 4 Februari 2021.
Alasannya, karena Djoko Tjandra dianggap sebagai pelaku utama dalam kasus dugaan suap pejabat negara. Djoko Tjandra berposisi sebagai pihak pemberi suap.
Menurut jaksa, dalam persidangan terungkap fakta bahwa benar Djoko Tjandra memberi suap sebesar 500 ribu dolar AS kepada mantan Kepala Sub Bagian Pemantauan dan Evaluasi 2 pada Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Bidang Pembinaan Kejaksaan Agung, Pinangki Sirna Malasari.
Suap itu diberikan Djoko Tjandra ke Pinangki melalui perantara Andi Irfan Jaya –yang merupakan rekan Pinangki– dengan maksud sebagai biaya pengurusan fatwa Mahkamah Agung (MA) melalui Kejaksaan Agung.
Penerbitan fatwa MA itu bertujuan supaya Djoko Tjandra tidak bisa dieksekusi atas kasus korupsi hak tagih (cessie) Bank Bali berdasarkan putusan PK Nomor 12 Tanggal 11 Juni 2009 yang menghukumnya 2 tahun penjara.
Selain itu, terungkap pula bahwa terjadi penyerahan uang kepada dua jenderal polisi guna pengurusan penghapusan red notice Djoko Tjandra.
Uang itu diberikan kepada mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional (Kadivhubinter) Polri, Irjen Napoleon Bonaparte sebesar 200 ribu dolar AS dan 370 ribu dolar AS, serta eks Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan PPNS Bareskrim Polri, Brigjen Prasetijo Utomo sebesar 100 ribu dolar AS.
Jaksa juga menyebut Djoko Tjandra terbukti terlibat pemufakatan jahat bersama Pinangki dan Andi Irfan Jaya dalam pengurusan fatwa MA. Mereka menjanjikan uang 10 juta dolar AS kepada pejabat di Kejaksaan Agung dan MA.
"Berdasarkan fakta persidangan bahwa terdakwa merupakan pelaku utama tindak pidana korupsi sebagai pemberi suap," tegas jaksa.