TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Deputi V Kepala Staf Kepresidenan Jaleswari Pramodhawardani menegaskan pentingnya membaca dan mengkaji fenomena Indeks Demokrasi Economist Intelligence Unit (EIU), Indeks Persepsi Korupsi Transaparency International (TI), dan polemik Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Jo Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik (UU ITE), secara utuh.
Jaleswari menegaskan bahwa Presiden berkomitmen kuat merawat demokrasi, menjaga kebebasan berpendapat dan melakukan pemberantasan korupsi.
" Oleh karena itu, adanya rilis Indeks Demokrasi Indonesia (IDI), Indeks Persepsi Korupsi (IPK) dan polemik UU ITE ini hendaknya tidak semata-mata dibaca sebagai angka dan penurunan/peningkatan semata, tetapi perlu dipahami secara kontekstual agar bisa dilakukan evaluasi secara menyeluruh sehingga kebijakan dan tata kelola Pemerintah ke depan menjadi lebih baik.” kata dia dalam siaran pers KSP, Jumat, (5/3/2021).
Dalam pembacaan utuh terkait indeks demokrasi, Tenaga Ahli Utama (TAU) Bidang Politik Kedeputian V Sigit Pamungkas menggarisbawahi pentingnya timing siklus publikasi Demokrasi IDI yang dikelola Badan Pusat Statistik (BPS), Kementerian/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenkopolhukam) - sebagai pembanding dari indeks keluaran lembaga internasional.
Baca juga: Dua Terpidana Kasus Jiwasraya Heru - Benny Tjokro Juga Dijerat TPPU dalam Kasus Korupsi Asabri
Sigit menjelaskan, IDI memiliki keandalan menangkap fenomena domestik pada level mikro yang luput ditangkap oleh lembaga internasional - sehingga mampu menjelaskan dinamika demokrasi Indonesia secara lebih akurat.
"IDI juga berguna untuk pemetaan peranan stakeholder, baik itu Kementerian/Lembaga, pemerintah daerah, organisasi kemasyarakatan dan keagamaan, maupun masyarakat secara luas dalam meningkatkan kualitas demokrasi di tahun-tahun mendatang," katanya.
Dalam pembacaan utuh terkait Indeks Persepsi Korupsi, TAU Bidang Anti Korupsi dan Reformasi Birokrasi, Rumadi Ahmad menyampaikan bahwa di masa pandemi ini, lebih dari 120 dari 180 negara yang dinilai, memiliki skor IPK di bawah 50 dan sebagian besar mengalami penurunan skor dibanding dengan tahun sebelumya.
Rumadi menjelaskan bahwa sektor ekonomi, investasi, kemudahan berusaha, dan layanan publik memiliki kontribusi besar dalam membentuk performa IPK saat ini.
"Oleh karena itu, implementasi Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja khususnya terkait penyederhanaan tata kelola perizinan, serta penguatan reformasi birokrasi dan peningkatan kualitas layanan publik (percepatan layanan publik, serta revitalisasi LAPOR dan Satgas Sapu Bersih Pungutan Liar diharapkan dapat menjadi terobosan dalam perbaikan IPK Indonesia ke depan," katanya.
TAU Bidang Hukum, Ade Irfan Pulungan, menyebutkan bahwa pada hakikatnya, tujuan UU ITE adalah menciptakan ruang siber yang sehat dan menghormati Hak Asasi Manusia.
Irfan menjelaskan dalam perjalanannya, UU ITE mengalami sejumlah dinamika - mulai dari persoalan kriminalisasi, penegakan hukum, dan lain sebagainya. Guna mengatasi dinamika tersebut, sesuai dengan arahan Presiden, dalam jangka pendek dibuat pedoman interpretasi resmi pasal-pasal UU ITE - yang telah diwujudkan dengan gerak cepat melalui penyusunan panduan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika, Surat Edaran panduan dan polisi virtual oleh Polri, dan tim kajian oleh Kemenkopolhukam.
"Serta dalam jangka panjang pemerintah secara hati-hati juga mempertimbangkan kemungkinan revisi bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat agar UU ITE dapat disempurnakan, memberikan rasa keadilan, dan tetap berada dalam koridor demokrasi," katanya.