TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Presiden Jokowi menghapus Limbah Batubara dari kategori limbah berbahaya dan beracun (B3) lewat peraturan pemerintah (PP) turunan omnibus law cipta kerja yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Hal itu menuai kecaman dikalangan masyarakat khususnya aktivis lingkungan karena limbah batubara sangat berbahaya bagi lingkungan dan kesehatan masyarakat.
Seperti yang diketahui, limbah batubara mengandung senyawa kimia seperti arsenik, timbal, merkuri, kromium, dan lain sebagainya.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui Direktorat Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah dan Bahan Berbahaya dan Beracun (PSLB3) memberikan penjelasan.
Dirjen PSLB3, Rosa Vivien Ratnawati menegaskan pengelolaan limbah abu batubara berdasarkan PP tetap lindungi lingkungan.
“Jadi isu yang bahwa limbah batubara dikeluarkan dari limbah B3 itu semuanya tidak benar, itu yang kami catat,” kata Vivien dalam konferensi pers virtual, Jumat (12/3/2021).
Baca juga: PKS Tolak Abu Batu Bara Dihapus dari Kategori Limbah B3
Rosa Vivien mengatakan bahwa material FABA yang menjadi limbah non B3 hanya dari proses pembakaran batubara di luar fasilitas stoker boiler dan/atau tungku industri, seperti antara lain PLTU yang menggunakan sistem pembakaran pulverized coal (PC) atau chain grate stoker.
Sedangkan dari Fasilitas stoker boiler dan/atau tungku industri, tetap kategori Limbah B3 yaitu Fly Ash kode limbah B409 dan Bottom Ash kode limbah B410.
Walaupun dinyatakan sebagai Limbah non B3, namun penghasil limbah non B3 tetap memiliki kewajiban untuk memenuhi standar dan persyaratan teknis yang ditetapkan dan tercantum dalam persetujuan dokumen lingkungan.
“Memang ada yang dikeluarkan dari limbah B3 menjadi limbah non B3 hanya untuk yang menggunakan sistem pembakaran pulverized coal (PC) atau chain grate stoker,” katanya.
Ia berujar material FABA yang dihasilkan dari proses pembakaran batubara pada fasilitas stoker boiler atau tungku industri tetap dikategorikan sebagai limbah B3.
Sedangkan FABA dari proses pembakaran di luar jenis itu, seperti di PLTU yang menggunakan sistem pembakaran pulverized coal (PC) atau chain grate stoker tidak lagi dikategorikan sebagai limbah B3 dengan beberapa pertimbangan.
Antara lain pembakaran batubara di kegiatan PLTU pada temperatur tinggi sehingga kandungan unburnt carbon di dalam FABA menjadi minimum dan lebih stabil saat disimpan.
Hal ini yang menyebabkan FABA (dan juga CCP/Coal Combustion Products) dapat dimanfaatkan sebagai bahan bangunan, substitusi semen, jalan, tambang bawah tanah (underground mining) serta restorasi tambang.
Selain itu, dalam hal pembakaran batubara dilakukan pada temperatur rendah, seperti yang terjadi di tungku industri kemungkinan terdapat unburnt carbon di dalam FABA masih tinggi.
Hal itu yang mengindikasikan pembakaran yang kurang sempurna dan relatif tidak stabil saat disimpan, sehingga masih dikategorikan sebagai limbah B3.
“Kami memiliki alasan scientific dalam mengambil kebijakan,” ujarnya.
Vivien menegaskan, meskipun FABA dari kegiatan PLTU dikategorikan sebagai limbah non B3, namun persyaratan pengelolaannya tetap harus memenuhi standar dan persyaratan teknis yang ditetapkan dan tercantum dalam persetujuan dokumen lingkungan.
Misalnya persyaratan teknis dan tata cara penimbunan FABA, persyaratan teknis dan standar pemanfaatan FABA, sehingga precautionary principle untuk perlindungan lingkungan tetap menjadi kewajiban penghasil atau pengelola limbah.
"Dalam PP Nomor 22 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, pengelolaan limbah B3 dilaksanakan berdasarkan Persetujuan Teknis (Pertek) dan dilengkapi dengan Surat Layak Operasional (SLO), dan pengelolaan limbah non B3 persyaratan dan standar pengelolaannya tercantum dalam persetujuan dokumen lingkungan," terang Vivien.